Pada Desember tahun 2019 lalu, negara Tiongkok dihebohkan dengan wabah yang berkenaan dengan gejala-gejala penyakit infeksi saluran pernafasan yang diakibatkan oleh pajanan wabah COVID-19 hingga menjadi pandemik global.
Beberapa kebijakan yang mengiringi langkah pemerintah dalam menekan penyebaran COVID-19 sendiri salah satunya yaitu membatasi skema human trafficking atau lintas manusia, dimana hal ini menjadi penghambat utama distribusi peralatan, hingga bahan serta SDM yang berperan penting pada produksi perusahaan-perusahaan Minyak Dan Gas (Migas), salah satunya yakni PT. Pertamina.Â
Menurut informasi dari daring online CNN (2020), diketahui bahwa PT. Pertamina berpotensi kehilangan keuntungan hingga 51% dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKAP) tahun 2020 ini akibat adanya Peraturan Pemerintah (PP) No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).[1] Dimana halnya PP tersebut tentu sangat menganggu rantai distribusi dari produksi Migas di Indonesia sekaligus daya beli masyarakat yang menurun akibat adanya ketidakstabilan perekonomian pada saat ini.Â
Pendapatan pertamina yang kian tergerus, juga turut bermasalah ketika OPEX (pengeluaran perusahaan untuk meningkatkan profit) dan CAPEX (pengeluaran operasional untuk keberlangsungan bisnis) PT. Pertamina menggunakan kurs dollar, dimana hal ini dapat menimbulkan adanya permasalahan khusus ketika rupiah memiliki nilai tukar yang menurun akibat dari pandemik ini.
Menurut Archie (2018), Â stakeholders Perseroan dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan dan negara dimana Perseroan berada atau yang disebut juga dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG).[2] Hal tersebut dapat berlaku pula untuk PT. Pertamina (Perseroan), dimana untuk menerapkan prinsip GCG, harus ditunjang dengan kemampuan para stakeholder, manajemen puncak, hingga para karyawan dalam mengimplementsikan keseluruhan prinsip-prinsip agar eksistensi perusahaan mencapai dari kriteria GCG itu sendiri.Â
Sehingga strategi khusus yang digunakan oleh perusahaan Migas ini yaitu mengajukan Force Majeure. Di saat Omnibus Law memuat peraturan terbaru terkait eksistensi Migas dengan skema kebijakan kemudahan investasi atau Ease Of Doing Business, sesuai dengan pasal 47 yang menyebutkan kemudahan perizinan berusahaan dan pemanfaatan laut untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dalam bentuk lepas pantai (offshore rig) Â minyak dan gas bumi.[3] Akan tetapi kini, situasi dari perusahaan Migas di era pandemik COVID-19 seakan-akan melemahkan kerangka kerja percepatan perekonomian tersebut.
Menurut CNBC (2020), dimana PT. Pertamina sendiri menyebutkan bahwa Force Majeure tidak dapat dihindari akibat realisasi kegiatan pengeboran dan permintaan gas dari pembeli yang tidak sesuai sekaligus keterlambatan beberapa proyek hulu migas yang sebelumnya telah dijadwalkan dalam bentuk onstream, dimana proyek yang seharusnya sudah selesai tersebut, kini baru mencapai 69,8% yang sebagian besar dikerjakan oleh sumber daya manusia warga Malaysia dan India yang tentu tidak dapat bekerja di lapangan ketika kebijakan lockdown mulai diberlakukan di beberapa negara.[4]Â
Sehingga dengan strategi pengajuan Force Majeure, maka seluruh produksi di lapangan akan berhenti dan berdampak pada menipisnya cadangan minyak serta gas yang beredar di pasaran. Apabila dianalisa, dengan adanya kuantitas yang menurun, maka hal tersebut dapat berdampak pada kenaikan harga di pangsa pasar.
Skema polemik permasalahan tersebut juga dapat berimplikasi pada penurunan harga saham dari PT. Pertamina di pasar modal. Sehingga dengan demikian, langkah-langkah terkini yang dapat dilakukan oleh pihak perusahaan PT. Pertamina sendiri yaitu memangkas OPEX secara signifikan hingga 30% untuk para stakeholder (pemegang saham), selain itu, dana investasi juga dipotong hingga 25% dimana hal ini dapat menurunkan eksistensi perusahaan Pertamina hulu untuk mendapatkan modal dalam mengembangkan kapasitas produksi kilang pada periode April-Mei.[5]Â
Pada dasarnya, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menanggulangi fenomena ini, karena perekonomian yang merosot merupakan isu nyata yang hanya dapat diselesaikan secara maksimal ketika World Health Organization memberikan pengumuman terkait berakhirnya pandemik COVID-19 ini. Kini, pemerintah sedang berfokus pada sektor kesehatan dan juga pelayanan masyarakat dengan pengenalan serta kolaborasi teknologi. Namun hal tersebut tentunya tidak dapat diimplementasikan pada permasalahan perusahaan Migas, karena untuk menunjang produksi dari perusahaan Migas sendiri, membutuhkan kontrol dan penatalaksanaan secara langsung di lapangan.
[1] CNN. (2020). Laba Pertamina Berpotensi Amblas Separuh Gara-gara Corona. Link.