Rekan-rekan kompasiana yang baik,
NKRI adalah harga mati, saya setuju 100%. Namun kita perlu mendiskusikan bagaimana caranya menjaga kesatuan NKRI. Beberapa hari ini, Yogyakarta dihebohkan dengan peristiwa di Asrama Mahasiswa Papua. Terdapat sekelompok mahasiswa yang ingin Papua melepaskan diri dari Indonesia. Kebetulan saya pernah beberapa kali ke Papua dalam rangka melakukan penelitian, sehingga memahami mengapa keinginan melepaskan diri bisa muncul. Ada faktor internal (bagaimana pemerintah Indonesia “mengelola” Papua) dan eksternal (kepentingan negara luar). Meskipun faktor-faktor ini penting untuk kita perhatikan, namun itu bukan fokus saya pada tulisan ini. Jika rekan-rekan mau mencari-cari informasi tentang sejarah konflik dan kondisi ekonomi-politik di Papua, saya yakin rekan-rekan juga akan bisa melihat mengapa ada sekelompok orang yang ingin Papua lepas dari Indonesia.
Kembali ke peristiwa diatas, saya justru miris dengan adanya komentar-komentar yang bernada ancaman seperti memenjara, memukul, hingga membunuh para mahasiswa Papua. Saya merasa ancaman seperti itu tidak hanya kurang mencerminkan niat dan moral yang baik namun justru memperkeruh permasalahan dan membuat semakin banyak orang Papua yang akan ingin untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Untuk mengetahui bagaimana mempertahankan NKRI, kita perlu menelusuri mengapa persatuan dan kesatuan bisa muncul. Ada dua pendekatan dari munculnya persatuan, yakni dengan paksaan atau tanpa paksaan. Contoh bentuk kesatuan yang muncul dengan paksaan adalah ketika Belanda menjajah beberapa wilayah dalam bendera VOC yakni dengan ancaman, kekerasan dan senjata. Contoh tanpa paksaan adalah ketika para pemuda dari beberapa wilayah berkumpul dalam kongres Sumpah Pemuda. Komentar dan pandangan bernada ancaman terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta condong menggunakan pendekatan kesatuan dengan paksaan. Saya pribadi lebih condong pada pendekatan kesatuan NKRI tanpa paksaan.
Persatuan tanpa paksaan bisa muncul jika dan hanya jika bersatu lebih menguntungkan daripada tidak bersatu. Anda secara sukarela ingin bergabung pada kelompok tertentu jika anda merasa bergabung lebih menguntungkan dibandingkan tidak bergabung. Kembali ke diskusi soal Papua, poin penting yang perlu hadir dalam tiap diskusi adalah apakah pemerintah Indonesia sudah membuat Papua merasa lebih beruntung bersatu dengan Indonesia atau justru membuat Papua merasa dirugikan. Keuntungan dan kerugian ini tidak hanya dalam artian hitungan uang namun juga ekonomi, politik, sosial, budaya, dan spiritualitas. Karena manusia cenderung menilai kondisi mereka dengan kondisi orang lain, kesenjangan antar wilayah menjadi penting untuk diperhatikan.
Semenjak adanya kebijakan otonomi khusus Papua, Papua telah mendapat kewenangan politik yang lebih besar disertai dengan tambahan dana puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Bagi yang pro melepaskan diri, seharusnya ini bisa dibaca sebagai signal adanya perubahan positif dari pemerintah Indonesia. Namun bagi yang pro persatuan dengan paksaan, anda perlu membuka mata anda dan mengetuk pintu hati nurani anda serta mencoba menjawab apakah perubahan positif ini sudah sepadan dengan kesenjangan antara Papua dengan Jawa.
Meskipun saya sudah pernah ke berbagai kabupaten di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi, pengalaman saya di beberapa kabupaten di Papua benar-benar membuka mata saya. Di Papua, saya merasakan betul betapa minimnya infrastruktur dan kehadiran pemerintah. Jangankan berbicara soal jalan dan listrik, di Papua masih ada wilayah yang sebagian besar warganya tidak bisa membaca dan menulis serta separuh warganya hanya bisa sedikit bahasa Indonesia. Bukan karena mereka malas atau bodoh, tapi memang karena sarana pendidikan masih sangat amat minim. Terlepas apakah ada atau tidak adanya pembiaran dari pemerintah Indonesia, kondisi seperti ini berpotensi memunculkan pandangan negatif terhadap pemerintah Indonesia. Pandangan negatif ini akan semakin kuat ketika mereka mengetahui “gemerlapnya” Jawa terutama Jakarta. Mereka bisa mengetahui kondisi Jakarta dari orang yang pernah ke Jakarta atau dari majalah/koran.
Dengan perkembangan teknologi informasi dan sosial media, saat ini, informasi hampir tidak bisa dibungkam. Peristiwa bentrok di Tolikara tidak hanya diliput media lokal namun juga media nasional dan internasional. Ini menarik mengingat jalur komunikasi disana sangat terbatas. Ketika saya di Tolikara, sebagian besar wilayah tidak memiliki jangkauan signal telepon. Listrikpun hanya tersedia beberapa jam (4-6 jam) per beberapa hari (2-3 hari). Cepat atau lambat, masyarakat Papua akan semakin menyadari ketimpangan antara mereka dengan kita yang di Jawa. Dengan sejarah perilaku pemerintah Indonesia yang kurang positif, ketimpangan ini akan semakin menjadi “pupuk” untuk pemikiran melepas diri. Perlu diingat, permasalahan ketimpangan ini tidak hanya ada di Papua namun juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Mungkin sebagian besar dari anda langsung berfikir pemerintah Indonesia perlu segera menangani permasalahan ketimpangan ini. Disinilah perlunya kita yang di Jawa untuk merangkul Papua bukan sebaliknya. Artinya kita yang di Jawa yang perlu mengeluarkan usaha lebih agar saudara kita di Papua tidak mau lepas dari kita. Usaha lebih ini bisa berarti, kita yang di Jawa perlu mulai lebih berkenan untuk membiarkan pemerintah Indonesia menambah fokus pembangunan di daerah luar Jawa. Salah satu konsekuensinya tentu saja, porsi pembangunan di Jawa tidak akan sebesar beberapa dekade dulu.
Terlepas pro-kontra kebijakan subsidi BBM, hati saya miris ketika melihat berbagai demonstrasi kenaikan BBM beberapa tahun lalu. Sebagian besar demonstrasi tersebut terjadi di Jawa, dimana harga BBM di Jawa berkisar harga resmi (Rp 5.500/lt untuk Solar tahun 2014). Padahal pada tahun yang sama, harga Solar di Karubaga mencapai Rp 100.000/lt dan harga sudah setinggi itu terjadi selama bertahun-tahun. BBM hanyalah satu komoditas dari sekian ribu komoditas dan infrastrukur dimana kita di Jawa memiliki kondisi jauh lebih beruntung. Wilayah di Jawa lebih maju karena fokus pembangunan selama puluhan tahun memang di Jawa.
Bagi saudaraku dari Papua yang ingin melepaskan diri, saya sangat-sangat menyarankan anda untuk berfikir ulang terkait ide/keinginan tersebut. Banyak pelajaran sejarah dunia yang dapat anda petik. Dimana, melepaskan diri dari suatu negara sama sekali bukan jaminan untuk kebebasan dan kesejahteraan. Perlu diingat, faktor-faktor eksternal Papua yang merusak Papua akan tetap selalu ada meskipun Papua sudah melepaskan diri. Masyarakat Papua adalah masyarakat yang memiliki banyak keanekaragaman, memiliki banyak perbedaan budaya, kepercayaan, hingga bahasa. Potensi konflik hingga perang antar orang Papua bukanlah potensi yang diawang-awang. Permasalahan di Papua juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada pihak lain, bagaimanapun juga ada keterlibatan dari tokoh-tokoh Papua juga. Sama-sama “makan pinang” tidak berarti benar-benar tulus bekerja untuk anda. Disini anda juga perlu mempertimbangkan masak-masak apakah benar nasib masyarakat Papua sudah pasti akan lebih baik jika melepaskan diri.