Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayam Piatu dan Ayam Pengasuh

6 Desember 2015   15:46 Diperbarui: 6 Desember 2015   16:43 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Telur ayam liliput (sebenarnya jenis serama) saya yang ditinggal mati induknya sekitar 25 hari lalu akhirnya menetas. Ia ditetaskan oleh induk lain, jenis siam-- induk yang sangat besar bagi anak ayam sekecil dirinya. 

Saya tak tahu pasti kapan anak ayam itu keluar dari cangkang. Tahu-tahu, begitu saya hampiri karena terdengar suaranya bercericit, ia tampak sudah lincah, matanya liar, dengan bulu yang masih sangat halus dan bersih, putih kekuningan, mirip almarhum ibunya yang mati karena terjangkit penyakit yang saya tak pernah mengerti. 

Dari gelagatnya, diperkirakan ia telah melihat dunia sejak sekitar dua hari lalu. Karena masih ada saudara-saudaranya yang lain yang belum menetas, maka ia masih berada dalam dekapan sang induk pengasuh-- suatu hal yang wajar bagi kalian yang pernah setidaknya sekali seumur hidup bersentuhan dengan kehidupan unggas yang pialnya bisa mengingatkan kita pada sosok makhluk (fantasi?) yang bernama dinosaurus ini. 

Sebenarnya ada dua lagi yang juga telah menetas. Tapi sayang, mereka terinjak-injak oleh si induk pengasuh dan tak terselamatkan. Keduanya saya temukan mati, masih di bawah tubuh si induk yang hangat.  

25 hari lalu, kalau saya tak salah ingat, ada 8 telur dari rahim si induk almarhum yang saya letakkan di bawah dekapan si induk siam. Maka tinggallah kini 5 lagi yang belum menetas. 

Tapi rupanya si induk siam pengasuh tak sabar. Entah karena dorongan satu-satunya si liliput junior yang tetap hidup yang mungkin butuh makan, ia kemudian memilih meninggalkan 5 telur yang belum menetas itu, pergi keluar bersama si tunggal mencari makan. 

Seraya masih sedih dan tak terima mendapati dua ekor mati terinjak, saya begitu gemas dan tak bisa menahan diri untuk tidak membopong si liliput kecil yang begitu lucu. Ia sungguh lucu. Ia lucu sekali. Ia kecil sekali. Ia diam saja ketika saya letakkan di atas telapak tangan. (Di titik ini, saya sadari bahwa setiap kelahiran selalu membawa kegembiraan. Dan sebaliknya, kematian dari kelahiran akan memberikan kesedihan. Tak terkecuali "hanya sekadar" ayam.) 

Ia kemudian saya tunjukkan pada bapaknya, seekor ayam serama jantan yang kini menduda pascakematian kekasihnya. Jelas saja si bapak tak mengerti ia anaknya. Tetapi, di hadapan si bapak, tak pula ia dipatok. Si bapak hanya terheran-heran melihatnya. 

Sementara itu, si induk pengasuh mulai gelisah "anaknya" saya ambil. 

"Baiklah. Rawatlah liliput kecil ini. Jangan sampai mati. Jangan sampai kau injak lagi," kata saya kepada si induk siam. 

Pergilah dia, berkeliling halaman mencari makan dalam lindungan induk yang bukan induk yang melahirkannya. Jadilah ia anak ayam yang tak akan pernah melihat induk kandungnya. Tapi, meski demikian, ia tetap mendapatkan kasih sayang yang tak perlu diragukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun