Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fatwa Haram Mudik dan Empati yang Menguap

9 April 2020   15:39 Diperbarui: 9 April 2020   15:43 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa itu semua demi mencegah penyebaran wabah virus, saya tahu. Bahwa itu semua demi kebaikan kita bersama, saya juga tahu. Bahwa itu semua bukan soal takut mati, saya pun tahu.

Tapi, pernahkah orang-orang yang menyarankan untuk menjaga jarak fisik dan di rumah saja, atau yang pro dengan anjuran itu (sejauh ini itulah anjuran pemerintah), sejenak saja membalik cara pandang mereka, dari memakai perspektif soal betapa mengerikannya penyebaran virus, ke perspektif orang-orang yang terancam kelaparan kalau tidak pergi meninggalkan rumah?

Barangkali memang pernah, tapi saya tidak yakin orang-orang itu turut larut dalam perasaan yang sama seperti yang dirasakan oleh, misalnya, pedagang sayur keliling, pengumpul rongsokan, tukang bakso tusuk, tukang cilok, tukang becak, karyawan yang terkena PHK, dan banyak lagi. Sungguh, saya tidak yakin.

Ketidakyakinan saya itu terverifikasi, salah satunya ketika saya melihat orang-orang lupa (atau tak sadar) bahwa mereka masih tetap bisa hidup (dan bahagia) berkat petani, pedagang sembako, tukang antar, penjaga jaringan internet, dan banyak lagi.

Sekali lagi, kita telah dan sedang sama-sama menyaksikan, hal-hal yang selama ini tersembunyi, tersingkap satu per satu semenjak wabah virus muncul. Ketakutan akan kematian telah mengorbitkan keserakahan, kelicikan, dan rupa-rupa lain dari egoisme. Di saat yang sama, empati dan belas kasih terus menguap.

Di Bandung, seorang perempuan yang pingsan karena kelelahan, tidak ada yang mau menolongnya karena dia dianggap terinfeksi virus Corona. Seorang perantau dari Jakarta yang pulang setelah di-PHK diusir oleh keluarganya sesampainya di rumah karena dianggap terserang Corona. Seorang penderita epilepsi yang kejang-kejang, juga tak ada yang mau menolong karena dikira orang dia tertular COVID-19.

Pada baner atau kain-kain spanduk yang dibentangkan untuk memblokir (baca: lock down) jalan atau gang-gang lingkungan RT/RW, tak terkecuali di padukuhan-padukuhan di kampung, tidak sedikit saya temui kata-kata yang tak semestinya dituliskan. Kalimat seperti "jangan ngeyel", masih ditambahi pula dengan "nganggo ndasmu!" (pakai otakmu) dan macam-macam.

Di tengah-tengah situasi yang kacau ini, dari televisi tabung 14 inci milik bapak kos yang saya nyalakan keras-keras selagi saya merebus mi instan, tersimak oleh saya kabar bahwa Wakil Presiden RI mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengeluarkan faktwa haram mudik. Gubernur Jawa Barat termasuk salah satu pejabat yang mendukung dikeluarkannya fatwa tersebut. Kabar ini menyusul rencana pemerintah untuk menggeser libur mudik Lebaran ke akhir tahun.

Saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya seperti apa namun yang pasti, kabar tersebut mengobok-obok perasaan saya, dan juga barangkali ribuan perantau lain di seluruh penjuru tanah air. Bagi kebanyakan perantau, saya kira persoalannya bukan karena tak kuat menahan rindu atau keinginan (keegoisan) untuk bertemu keluarga di kampung, melainkan karena tak punya uang lagi untuk bertahan di perantauan, terutama mereka yang tadinya bekerja di sektor formal dan baru terkena PHK.

Saya sendiri, misalnya, yang bekerja sebagai editor di sebuah penerbit indie di Jogja, tidak punya penghasilan tetap/rutin bulanan. Saya hanya mampu bertahan hidup dari remah-remah upah mengedit naskah yang tak selalu ada saban bulan. Sebagian saya sisihkan untuk membayar indekos, dan sebagian lagi untuk makan. Ini terpaksa saya ungkapkan di sini untuk menerangkan persoalan di atas.

Dua bulan terakhir saya telah mencoba mencari pekerjaan serabutan dengan menghilangkan gengsi saya, namun hasilnya nihil. Tak perlulah saya sebutkan pekerjaan apa saja yang telah saya upayakan untuk saya dapatkan. Yang jelas, upaya itu semakin berat dalam masa wabah ini karena alasan yang orang-orang sudah pada tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun