Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fatwa Haram Mudik dan Empati yang Menguap

9 April 2020   15:39 Diperbarui: 9 April 2020   15:43 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barangkali keadaan saya belum teramat memprihatinkan. Barangkali saya harus lebih kuat lagi bertahan tanpa penghasilan sama sekali. Mungkin bertahan hidup tanpa ngekos. Mengembara seperti bohemian jika tak lagi memungkinkan untuk menumpang sana menumpang sini. Makan apa yang ada di alam sehingga tak harus membeli, minum air sungai, dan sebagainya.

Ya, saya mau saja seperti itu, tapi sayangnya, risiko dianggap maling dan dipukuli massa mengancam dari segala arah. Sekarang, apa-apa sudah ada yang punya, termasuk pohon-pohon yang tumbuh liar di semak-semak hutan. Apakah saya harus nekat mencuri?

Setelah menjual ponsel, uang yang saya siapkan untuk ongkos pulang ke kampung (jumlahnya tak sampai Rp 1 juta) barangkali bisa saya gunakan untuk bertahan lebih lama lagi di perantauan. Berikutnya saya mungkin akan menjual laptop saya. Mungkin saya akan keluar dari indekos, menitipkan pakaian saya dan hanya membawa dua-tiga potong dan mengembara. Baiklah, saran ini akan coba saya jalani.

Persoalannya, siapa yang bisa memastikan kapan wabah ini berakhir? Apakah wabah ini akan berakhir sebelum uang saya habis--atau katakanlah, sebelum saya mendapatkan penghasilan/pekerjaan yang lebih memadai? Bagaimana dengan ribuan perantau lain di luar sana?

Belum lagi kalau kita mau bicara soal pengharaman mudik itu sendiri. Bagaimana fikihnya? Di kalangan ulama saja, saya dengar banyak yang tidak sepakat karena pengharaman itu dianggap tidak adil karena tidak semua perantau terjangkit COVID-19 maupun membawa virusnya. Tetapi, saya tidak akan membahas soal itu di sini karena itu bukan ranah saya.

Remah-Remah Empati

Kekacauan masih terus berlangsung dan kita tahu bahwa pemerintah enggan menetapkan kebijakan lockdown secara nasional dan malah menerapkan darurat sipil (karena konon pemerintah tak sanggup (atau tak mau?) memberi makan rakyatnya).   

Dalam keadaan kacau seperti ini, saya kira wajar jika ada sebagian rakyat yang mengungkapkan kekecewaannya (melayangkan kritik dan sebagainya) terhadap pemerintah terutama terkait penanganan wabah. Bagi mereka, terutama mereka yang miskin dan lemah, mereka yang paling merasakan dampak pahit dari wabah, mereka yang tak bisa menyimpan persediaan makanan di kulkas, mengkritik pemerintah adalah kemewahan.

Sayangnya, kemewahan yang tersisa itu pun masih juga "dibungkam" oleh orang-orang bijaksana yang konon hidupnya mapan--jika bukan kaya--dengan kalimat-kalimat seperti "jangan nyinyir", "tak usah kebanyakan cocot", "lebih baik diam kalau tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu pemerintah mengatasi wabah", dan sejenisnya. Pembungkaman itu kini menggenapi ancaman pidana yang dibuat oleh pemerintah.

Pertanyaannya: setelah diharamkan mudik, tak boleh mengkritik, tak disantuni, tak boleh sembarang mengambil apa yang ada di alam, lalu dengan apa perantau dan rakyat jelata, bertahan hidup? Tak adakah lagi remah-remah empati yang tersisa? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun