Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Filsafat Setengah-setengah, Apa Salahnya?

12 Januari 2019   23:23 Diperbarui: 6 Juli 2021   08:18 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika dilahirkan ke dunia, di samping tak pernah puas, kita manusia sepertinya juga diberi sifat untuk mudah sepele terhadap orang lain. Tak terkecuali dalam soal-soal perolehan ilmu pengetahuan; kita acap merasa lebih unggul, dan meremehkan pengetahuan yang orang lain miliki.

Saya menyadari hal ini ketika seorang teman, melalui pesan WhatsApp, berkeluh kesah tentang sahabatnya yang belakangan mulai meninggalkan ibadah, mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan mulai tak memercayai agama. Semua itu, menurut kesimpulan teman saya, merupakan akibat dari belajar filsafat setengah-setengah.

Maksud hati ingin bertanya kepadanya, "Setengah-setengah bagaimana?", tapi lekas saya urungkan karena tudingan demikian sudah sangat sering saya dengar dari orang-orang. Karena itu, saya bisa mafhum apa yang dia maksud dengan 'setengah-setengah' tanpa perlu menanyakannya.

Ketimbang bertanya soal sejauh mana sahabat teman saya itu belajar filsafat, atau buku-buku apa saja yang sudah dia baca, saya lebih penasaran dengan keadaan yang bersangkutan. 

Maksud saya, bagaimana pemikirannya saat ini, untuk memastikan kondisi yang sesungguhnya. Kawan saya memberitahu bahwa sahabatnya itu sering menulis status di media sosial untuk mengekspresikan keraguannya atas ajaran agama. Setelah saya periksa, terakhir kali yang bersangkutan menuliskan status yang berbunyi seperti ini:

"Saya tidak percaya bahwa seseorang harus berdoa dengan cara tertentu lima kali dalam sehari. Saya tidak percaya bahwa seseorang harus berdoa tiap hari Minggu. Saya tidak percaya seseorang hanya diharuskan makan daging tertentu. Saya hanya percaya bahwa bila saya berlaku baik, maka saya akan diperlakukan dengan baik."

Baca juga : Pengalaman Belajar Filsafat Secara Daring dimasa Pandemi COVID-19

Ternyata, tidak ada sesuatu yang salah dengan sahabat teman saya itu. Atau setidaknya, menurut saya, tidak ada masalah yang perlu dibesar-besarkan dari gejolak batin yang tengah melandanya. 

Yang namanya orang belajar filsafat, terutama di fase-fase awal, pastilah mengalami hal demikian. Yang salah justru orang yang bereaksi terlalu berlebihan melihat orang dekatnya mengalami pergumulan spiritual seperti itu, lantas dengan simpelnya menyimpulkan "akibat belajar filsafat setengah-setengah". Untung saja tidak bilang "akibat kebanyakan makan tempe setipis ATM".

Come on, Kawan, sampean tidak perlu cemas berlebihan seperti itu. Tidak perlu juga sampai kepikiran kalau-kalau sahabat sampean bakal menjadi ateis. Perlu sampean tahu, secara naluriah, sesungguhnya tidak ada satupun makhluk hidup di alam semesta ini, apalagi manusia, yang tidak mengakui keberadaan Tuhan, sekalipun mulutnya mengucapkan "Aku ateis!".

Maka dari itu perlu sampean bedakan, mana keraguan akan keberaaan Tuhan dan mana keraguan akan agama. Itulah mengapa sebelum ada agama-agama mayor yang hari ini dianut miliaran umat, manusia pada zaman dahulu juga sudah memiliki cara-cara peribadatan sendiri sebagai bentuk keyakinannya atas keberadaan Sang-Penggerak-Yang-Tak-Digerakkan. Animisme-dinamisme adalah salah satu yang paling kita kenal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun