Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

7 Kekurangan Yogyakarta yang Bakal Membuat Pengunjung Kecewa

10 Juni 2017   22:04 Diperbarui: 11 Juni 2017   07:37 8015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepasang pengunjung berfoto dengan patung abdi dalem di halaman Keraton Jogjakarta beberapa waktu lalu (Dokumentasi Pribadi)

4. Serba Murah yang Hanya Dongeng Belaka

Harus diakui, salah satu daya tarik Jogja di samping keratonnya adalah cerita-cerita tentang "di Jogja semua serba murah". Tetapi yakinlah, tak sampai sebulan, cerita-cerita itu akan terasa seperti dongeng. Tentu saja, kata 'murah' muncul karena ada pembandingnya, dan pembandingnya adalah harga di kota-kota lain. Tetap saja, tidak ada yang benar-benar murah di Jogja, kecuali nasi kucing yang berisi sekitar tiga sendok nasi dengan dua biji teri (saya sengaja menggunakan kata 'biji' untuk menekankan kesedikitannya), yang berharga Rp 2.000 per bungkus jika membeli di lingkungan kampus (rata-rata di kebanyakan tempat lain justru Rp 2.500 - 3.000 per bungkus). Untuk makan gudeg saja, semurah-murahnya Anda harus mengeluarkan uang Rp 15.000 per porsi, dan itupun kalau membelinya di pinggiran jalan (kalau beli di warung-warung gudeg terkenal, seperti Yu Djum misalnya, siapkan uang minimal Rp 30.000 untuk makan sendiri).

Lalu, jikapun ada es jeruk yang harganya Rp 2.500 per gelas, ya, wajar karena memang jeruk yang diperas cuma sebiji dan itupun ukurannya sangat kecil. Artinya, jika dibanding jus jeruk di kota-kota metropolitan yang harganya paling murah Rp 10.000, ya, rupiah yang harus dikeluarkan sama saja dengan harga jus jeruk di Jogja. Tidak lebih murah sama sekali.

5. Sulit Mencari Santan Asli atau Kelapa Parut

Di Jogja, menemukan bahan makanan tak semudah di kota metropolitan seperti Medan. Agak sulit diterima, memang, terutama jika kita berpijak pada persepsi bahwa kota budaya atau tradisional mestinya memudahkan kita menemukan hal-hal tradisional. Tetapi tidak dengan Jogja. Salah satunya tentu saja ikan laut segar. Semua orang mungkin sudah tahu soal ini. Maka jangan heran bila makan ikan laut di Jogja pasti mahal. Tetapi tak cuma ikan. Kelapa parut juga. Tidak seperti di Medan, misalnya, yang di sembarangan warung kelontong pun bisa ditemukan kelapa parut dengan mudah. Padahal Medan kota metropolitan, dan Jogja kota tradisional.

6. "Langkanya" Daun Pisang

Makan nasi bungkus akan terasa sedap bila dilapis daun pisang. Sayangnya, di Jogja, kota non-metropolitan, justru sangat jarang warung-warung makanan (sate, penyetan, dsb) yang kemasannya melibatkan daun pisang, minimal sebagai pelapis bagian dalam. Lagi-lagi, terasa mengecewakan karena di banyak tempat di Jogja, banyak tumbuh pohon pisang. Dikemanakan daun pisang itu? Apakah dimakan sendiri oleh pemiliknya (dijadikan sayur/lauk pauk, misalnya)? Entahlah.

7. Sulit Menemukan Tukang Urut Rumahan

Satu hal lainnya yang kontradiktif dengan cap Jogja sebagai kota tradisional adalah sulitnya menemukan tukang urut tradisional rumahan (tukang urut yang dikenal dari rumah ke rumah, tanpa mempromosikan diri dengan plang, brosur, dsb). Dalam hal ini, Jogja bahkan masih kalah dibanding Medan yang notabene kota metropolitan. Di Jogja, bahkan mayoritas orang Jogja asli pun akan kebingungan ketika ditanya, "Ada kenal tukang urut, gak?". Sementara di Medan, bertanya ke orang tak dikenal pun, asalnya dia penduduk setempat, akan segera dijawab, "Oh, di situ. Ini nomor HP-nya kalau perlu."

Demikian segelintir kekurangan tentang Jogja. Menurut hemat saya, kebanyakan "keistimewaan" Jogja selama ini lebih banyak didukung oleh melubernya informasi yang tersaji di internet. Artinya, wilayah-wilayah lain di Indonesia, jika mendapat perlakuan yang sama, barangkali bisa lebih "istimewa" dan menyenangkan dibanding Jogja.

Namun tentu saja, tulisan ini bukan untuk menjelek-jelekkan Jogja, melainkan, sebaliknya, sebagai kritik dan masukan dari saya, orang Medan, agar provinsi yang dipimpin langsung oleh Sultan Keraton Jogja ini lebih baik dan istimewa lagi. Atau, kalau memang hal-hal di atas baru-baru belakangan ini saja terjadi, tentulah tulisan ini dapat menyadarkan orang-orang di Jogja, terutama penduduk aslinya, agar membenahi diri; tekankan kembali kepada generasi berikutnya tentang pentingnya tenggang rasa (altruisme) dan tepa salira. Seraya itu, jangan mau terpengaruh oleh hal-hal buruk yang dibawa pendatang, sehingga tidak lagi ada alasan "itu bukan orang asli Jogja". Dan seraya itu pula, tanamlah banyak-banyak buah-buahan, terutama kelapa, pisang, jeruk, dan sebagainya, agar harga buah di Jogja bisa lebih murah karena tak lagi harus mengimpor dari kota atau negara lain. Manfaatkan ilmu dan teknologi dari universitas-universitas ternama itu jika dirasa iklim dan tanah di Jogja dirasa tidak mendukung. Sekian. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun