Sementara Fern Johnson, dalam Komunikasi dan Kebudayaan, menyebut bahwa seluruh aktivitas komunikasi berlangsung dalam kerangka kerja budaya; semua individu mengolah pengetahuan kebudayaan yang mereka miliki untuk berkomunikasi.
Perbaiki Citra OKP
Keberadaan OKP di Medan sendiri bukanlah hal yang baru. Bahkan ada anekdot yang mengatakan bahwa Medan adalah kota OKP; sarangnya OKP. Dari situ pulalah saya kira mental ke-OKP-an itu muncul. Karena saking ramainya, masyarakat non-anggota OKP pun tak jarang berlagak (bertutur dan sebagainya) seperti anggota OKP.
Munculnya mental ke-OKP-an di tengah masyarakat ini perlu menjadi perhatian bersama, khususnya bagi pemerintah dan OKP-OKP itu sendiri. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa sapaan “ketua”, setidaknya sejauh ini, memiliki konotasi yang cenderung mengarah kepada premanisme atau kehidupan pasaran.
Tidak masalah memang jika mental itu hanya terhenti pada tataran sapaan. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga bagaimana perkembangan mental itu dalam tataran tindakan. Misalnya di jalan raya. Cobalah saksikan bagaimana para pengendara di Kota Medan memiliki kecenderungan untuk melanggar aturan lalu lintas dan saling tidak mau mengalah; dan masih banyak contoh lainnya. Artinya, tanpa bermaksud menuding dan mendeduksi (mengeneralisir), corak mental tersebut harus dipikirkan secara serius.
Untuk OKP-OKP, terutama para ketuanya, tentu tak ingin dianggap sebagai biang dari munculnya mental ini. OKP perlu memperbaiki citranya di mata masyarakat, agar konotasi negatif yang dilekatkan oleh masyarakat itu dapat hilang.
(Abul Muamar, Facebook dan Instagram: Abul Muamar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H