Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meng-agenperubahan-kan Anak

14 Juli 2013   09:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:34 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ADA sebercak noda yang terlupakan saat kita berpikir bahwa perubahan dapat dilakukan oleh anak. Bukan, bukan soal bisa atau tak bisa, tapi ini adalah soal pembungkaman yang agaknya telah berkelindan lekat di bahu setiap anak — juga setiap kita.

Anak: sebuah kecambah yang tak kuasa mengusik tumbuh tegaknya pohon-pohon tua di sekitarnya. Dalam hidup masyarakat dunia kebanyakan, anak adalah suatu bagian dari onggok manusia tak berdaya — suatu “bantut” di tengah-tengah kehidupan manusia. Dengan kata lain, anak adalah seekor serangga kecil yang tertimpa oleh beratnya beban kuasa para orang tua.

Sebab itu anak tak bisa banyak bicara. Mereka hanya mengangguk seraya mengubur dalam-dalam pertanyaan tentang apa yang sebenarnya mereka iyakan.

Kisah hidup anak kebanyakan adalah seperti mobil-mobilan dalam jalur yang telah ditentukan. Mereka tak bisa melaju ke sembarang arah karena si Tuan dengan pasti akan segera menangkapnya. Segala sesuatunya bergerak konstan dalam ruang dan jarak tertentu. Sebuah alegori, memang. Tapi memang itulah agaknya yang kita saksikan.

Gambaran ini terjadi di Indonesia sampai hari ini, tapi bisa jadi ia hanya salah satu wujud dari yang terjadi di mana saja, juga di Bosnia dan Pakistan. Pembungkaman terhadap anak menjadi hal yang serius justru karena ia dianggap sebagai “bukan hal yang serius”.

Itulah kenapa kemudian sang anak tak bisa bergerak bebas. Juga bersuara. Tak salah kemudian jika ada pepatah yang mengatakan, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Di sini, yang diwariskan bukanlah sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan genetika, bukan “sifat”, melainkan “sikap”. Sebab jika yang diwariskan hanya sekadar “sifat”, sesuatu yang berhubungan dengan gen, seburuk apapun sifat genetis si orang tua, tak akan berbahaya jika si anak dididik dengan baik dan dihindarkan dari hal-hal yang tidak baik. Maka jangan heran apabila melihat perang atau pertikaian — yang bisa berlangsung sejak berabad-abad yang lalu — masih terus berlanjut hingga hari ini. Sebab yang terwariskan adalah “benci” dan itu kolektif berakar-akar. Dan anak tak bisa tak ikut. Kecuali jika ia siap dianggap “aneh” dan sanggup hidup sendiri.

Syahdan, ketika mereka besar, yang “benar” dan yang “baru” dan yang “salah” dan yang “lama” menjadi suatu pertautan yang sulit diuraikan. Pengetahuan bahwa “membenci itu tak baik” atau “damai itu dianjurkan” pun tak banyak berpengaruh. Mereka yang lahir dan dibesarkan di negeri yang punya sejarah permusuhan pun hanya bungkam, atau ikut membunuh atau ... mati.

Saya sepenuhnya yakin bahwa tiap individu yang pernah belajar tentang tata krama, tentang etika dan moral, tentang kemanusiaan, misalnya, baik melalui apa yang dilihat dan disaksikannya di lingkungan bermasyarakat maupun di sekolah atau tempat lain, akan setuju jika kita menyerukan “buanglah sifat benci, iri, dengki, dan sebagainya yang kotor” jauh-jauh.

Sebab itu sebuah konflik di hari ini — mulai dari skala antartetangga hingga antarkelompok kekuatan politik maupun antarnegara, yang merupakan lanjutan dari yang sudah terjadi sejak dahulu — bukanlah suatu hal yang mengherankan lagi apabila dilakonkan oleh anak-anak manusia yang sekarang sudah berpendidikan tinggi. Sebab ilmu yang mereka peroleh tertimpali oleh sebuah sikap turun-temurun yang sulit dibantah sang anak: benci.

Kebencian: sebuah titik di mana sejarah berdarah umat manusia bermula. Konflik mematikan di Suriah, Turki, dan Mesir adalah beberapa contoh teraktual. Dan anak-anak manusia itu pun, sekali lagi, menjadi korban — korban kebencian di antara mereka sendiri.

Zlata Filipovic pernah mengutuk keras peperangan semacam itu. Ia mengecam kebencian. Dalam catatan-catatan hariannya ia lukiskan betapa manusia telah dikalahkan oleh perang, oleh rasa benci mereka sendir i— rasa benci yang asal-usulnya berupa sesuatu yang lucu: takut tersaingi atau merasa terancam. Semua berlangsung sonder alasan yang masuk akal.

Zlata mungkin memang bukan seorang anak yang bisa dikategorikan sebagai agent of change, seperti halnya Malala Yousafzai atau Beteguh. Tapi pekiknya tentang kemanusiaan meninggalkan gaung yang menggema tidak hanya di Sarajevo, tapi juga di seluruh dunia. Laung terdalamnya bukan saja menulah peperangan yang kejam di tanah airnya, tapi juga kebencian yang terwariskan lewat orang-orang tua terdahulu kepada anak-anaknya di saat itu.

Kutukannya terhadap kebencian itu menjelaskan betapa kebebasan berpikir dan mengambil sikap (dari pelajaran dan ilmu yang didapat) telah sengap jauh sebelum ia sempat ditumbuhkan. Zlata memang tak berpikir sejauh itu. Seorang anak mungkin hanya akan menilai baik buruknya sesuatu dari apa yang ia tahu, dari apa yang ia saksikan. Tapi kita — yang dewasa ini — tentu tidak demikian. Sebab saya kira tak terlalu rumit untuk berpikir ke arah situ. Dengan ungkapan lain, kata nasihat leluhur yang pernah saya dengar, “Kalaulah sulit membersihkan kotoran, janganlah mencemari anak-keturunan dengan kotoranmu itu”.

Sebab itu anak-anak bukanlah gelas-gelas kosong yang dibiarkan terisi atau diisi dengan air-air keruh, seraya menutupnya dari kemungkinan terisi oleh air yang jernih. Dalam hal ini, kita mungkin berpijak pada bagaimana Zlata bisa berpandangan seperti itu. Bukan suatu yang keajaiban, memang. Seorang bocah yang sudah mengerti bahwa perang itu tak baik, tak manusiawi. Seorang anak 11 tahun yang menginginkan kedamaian. Tapi bukan hanya Zlata yang istimewa di sini. Setiap anak, setiap manusia, termasuk kita yang juga seorang “anak”, yang “hijau” maupun yang “salib”, juga yang “lain”, pada mulanya dan pada akhirnya pasti mengelu-elukan hal yang sama.

Maka, perihal agen perubahan, saya ingin menawarkan sesuatu yang saya kira lebih mendesak: mentransformasikan kata (benda) agen perubahan itu menjadi kata kerja. Dan itu akan berbunyi: “meng-agenperubahan-kan”. Sesuatu yang ridiculous, mungkin. Tapi ini tentu tak sekadar kata-kata seperti halnya dalam merangkai kalimat. Sebab agen perubahan sebagai kata benda hanya akan terasa ketika ada segelintir orang yang terekam, lalu muncul ke permukaan melalui sorot lampu publisitas yang gemerlap, karena mereka memiliki kemampuan atau prestasi, atau keberanian atau dedikasi, di atas rata-rata. Saya kira justru di situlah letak kedangkalan dari usaha kita tentang konsep agen perubahan itu. Agen perubahan, sebagai kata kerja, secara langsung akan menjadi sebuah tindakan — tindakan “meng-agenperubahan-kan setiap individu”.

Jika kemudian sasaran kita adalah anak, maka itu berarti “meng-agenperubahan-kan anak”.

Tindakan ini tentu bukan tindakan main-main. Tindakan ini menuntut hadirnya suatu kesadaran kolektif di masyarakat tentang bagaimana anak harus didengar suaranya, tentang bagaimana anak tak lagi dibungkam hanya karena kita merasa dewasa dan benar, tentang bagaimana anak dipandang sebagai sebuah kecambah yang akan tumbuh dengan DNA dan “sel-selnya” sendiri, dengan cara dan bentuknya yang berbeda dan unik, bukan dengan pengertian yang apriori dan ortodoks. Maka tugas kita adalah membimbing mereka dalam kebebasan bertumbuh menjadi dirinya sendiri.

Tindakan “meng-agenperubahan-kan” ini — termasuk “meng-agenperubahan-kan anak” — kemudian jangan didasari oleh suatu kepentingan tertentu untuk suatu tujuan tertentu. Tindakan ini selanjutnya bukan dipandang sebagai sebuah “program”, melainkan sebagai suatu “keinginan berubah” itu sendiri. Seperti halnya ketika kita ingin berubah menjadi pribadi yang sabar, atau pribadi yang bijaksana, atau ceria, atau ini, atau itu, dan sebagainya.

Tindakan meng-agenperubahan-kan anak ini bukanlah suatu “rencana” pencarian atau pengkoleksian anak-anak yang punya bakat atau keberanian luar biasa atau di atas rata-rata, yang kemudian diberi cap “agen perubahan cilik” atau “agen perubahan muda”, seperti yang sudah dirasakan Malala atau Beteguh. Meng-agenperubahan-kan anak pada dasarnya adalah suatu tindakan mengubah dan menggubah sesuatu yang “tertinggal”, yang primitif, yang kuno, yang kolot, dengan setiap individu (bukan hanya anak-anak) sebagai subjeknya — dan sebagai objeknya pada akhirnya. Meng-agenperubahan-kan anak adalah tindakan menyemai benih-benih mental “agen perubahan” kepada diri setiap individu. Yang penting dipiara dan dikembangbiakkan kemudian bukanlah sosok-sosoknya, tetapi sikap, mental, dan semangat akan perubahan itu sendiri. Sebab saya kira, seribu Malala atau sejuta Beteguh sekalipun, yang lalu disebarkan ke seluruh penjuru dunia, tidak akan berarti banyak tanpa “roh-roh” perubahan itu dihadirkan, dalam diri setiap individu. Kehadiran sosok seperti Malala atau Beteguh bisa dimanfaatkan sebagai katalisator untuk merangsang semangat itu di “garis start”. Sementara pemerintah, masyarakat, dan keluarga dalam hal ini harus memiliki kesadaran dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai posisinya.

Maka, tindakan “meng-agenperubahan-kan anak” ini berarti juga meng-agenperubahan-kan orang tua, meng-agenperubahan-kan masyarakat, hingga, tak terkecuali, meng-agenperubahan-kan pemimpin negara. Betapa muskil, memang.

14 Juli 2013 (5 Ramadhan 1434 H)

#Worldvision#

(Untuk Kompasiana-World Vision Blog Competition)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun