Terkadang, cinta menjadi penuntun dalam melakukan banyak hal, bahkan untuk perkara radikal sekalipun. Nahas, tidak semuanya dapat berbuah manis. Omnibus Law yang digagas pemerintah itu, misalnya.
Sebagaimana santer tersiar, pasca dilantik sebagai Presiden Priode 2019-2024, Joko Widodo, dalam pidatonya, melayangkan sebuah konsep yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law; peraturan berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatan berbeda.
Pada waktu bersamaan, Presiden yang terpilih dengan perolehan suara 55,50 persen itu menjelaskan, selain merampingkan berbagai regulasi yang saling tumpang-tindih, gagasannya itu juga dimaksudkan agar dapat menghapus segala bentuk hambatan dalam penyerapan tenaga kerja dan pengembangan UMKM di tanah air.
Dengan penuh optimis Jokowi percaya, di tahun 2045, bertepatan pada 1 Abad kemerdekaan bangsa Indonesia, Omnibus Law akan membawa perubahan besar, di antaranya keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah.
Pendeknya, negara padat penduduk ini ditargetkan masuk dalam daftar 5 besar negara ekonomi dunia, di mana kemiskinan mendekati angka nol persen.
Silakan simak pidato Presiden Joko Widodo sesaat seusai dilantik di link berikut: https://tirto.id/isi-pidato-jokowi-saat-pelantikan-presiden-2019-2024-di-sidang-mpr-ej5U
Niat mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut tentu bukan tanpa alasan. Pasalnya, data United States Trade Representative (USTR) telah menjelaskan bahwa, indikator dari suatu negara maju di antaranya memiliki PDB per-kapita sebesar US$ 12.375. Pada saat yang sama, menurut data Bank Dunia, PDB per-kapita masyarakat Indonesia di tahun 2018 hanya berada pada kisaran angka US$ 3.840. Terpaut sedikit saja dengan data kepunyaan IMF yang mengatakan US$ 3.870.
Sebelumnya, Â kendati pemerintah telah bersusah payah, selisih PDB per-kapita Indonesia dengan negara maju masih terpaut jauh. Tahun 2019, negara maju telah mencatatkan PDB per-kapita-nya di angka US$ 48.250. Sedangkan Indonesia sendiri hanya mampu bangkit sedikit saja dari tahun sebelumnya, yakni US$ 4.160. (Katadata).
Dengan berbekal realitas di atas, wajar saja, tidak kurang dari 15, menit riuh-rendah tepuk tangan Anggota Parlemen membersamai penyampaian isi pidato itu. Bahkan, di beberapa stasiun televisi swasta, tidak sedikit pula pengamat yang memuja dan memuji ambisi Presiden ke 7 tersebut.
Kendati demikian, menjadi lumrah tentunya, di negara penganut demokrasi, kepentingan (negara-rakyat) tidak serta-merta berjalan beriringan dan bergandengan. Aspirasi rakyat di tengah-tengah iklim demokrasi tidak pernah tunggal, selalu saja ditemukan pihak pro dan pihak kontra terhadap sebuah kebijakan.
Hal itu jelas sekali terlihat. Tidak butuh waktu lama, semenjak draf RUU Omnibus Law besutan pemerintah tersebar luas, gelombang penolakan mulai merebak ke mana-mana. Pamflet dan forum diskusi menyoal Omnibus Law berseliwiran di jagad maya maupun nyata. Aksi demonstran bahkan sempat memblokade beberapa ruas jalan hingga beberapa hari belakangan. Seruannya, tolak Omnibus Law!