Zygmunt Bauman, seorang ahli sosiologi asal Polandia pernah mengatakan bahwa kita hidup di era Pasca Modern di mana kebenaran itu sifatnya liquid atau cair, tidak memiliki bentuk pasti, terus berubah sesuai dengan konteks, laksana air yang mengalir, bergerak bebas ke mana pun ia pergi dan mengalir. Kita hidup di sebuah era ketidakpastian, yang didominasi oleh ketakutan dan kekhawatiran.
Ya...genap sebulan sudah isolasi terhadap Qatar berjalan. Tak ada hal yang berubah, hidup di sini normal adanya seperti saat sebelum diisolasi. Mungkin ada yang terasa lain, yaitu perasaan ketidakpastian akan masa depan diri tersirat dari jutaan orang pendatang yang menggantungkan hidup di negeri Qatar. Perasaan khawatir dan takut juga menyelimuti diri atas kemungkinan hal-hal yang buruk yang bakal terjadi jika Qatar menolak tunduk terhadap tuntutan dan tekanan negara-negara tetangga yang mengisolasinya, perang atau konfrontasi fisik misalnya yang paling ekstrem.
Di awal hari-hari blokade ada sedikit kepanikan dan kebingungan. Saya dan hampir semua orang berbondong-bondong antre di supermarket untuk membeli atau bisa dikatakan menimbun barang barang kebutuhan sehari-hari. Ada kekhawatiran akan langkanya barang barang kebutuhan pokok yang biasa diimpor dari negara tetangga. Awalnya rak-rak penyimpan makanan di toko-toko terlihat kosong, harga-harga makanan pun perlahan mulai merangkak naik, tapi untungnya pemerintah Qatar bertindak sigap. Bahan-bahan pangan pun didatangkan dari Turki, Oman, India, Iran dan sejumlah negara netral lainnya. Saya pun kini mulai terbiasa mengonsumsi minuman dan makanan dari Turki. Walau tak ada lagi "fresh milk/halib tazj" alias susu segar dari Saudi, kini tersedia "taze sut" dari Turki.
Negara-negara yang mengisolasi Qatar telah menutup wilayah udara mereka untuk disinggahi pesawat udara yang berasal dari Qatar, begitu pun jalur laut dan daratnya. Akhirnya kawan kawan dan penumpang yang mau mudik dari Qatar pun harus mengubah tiket penerbangan mereka dengan memilih rute penerbangan langsung ke negara-negara tujuan atau setidaknya memilih rute transit di negara-negara yang dipandang netral, seperti Oman, Kuwait atau Iran.
Yang sedikit berbeda mungkin suasana di jalanan. Mobil mobil dengan plat nomor Saudi, Emirat dan Bahrain tak lagi terlihat lalu lalang di jalanan.Â
Teman teman Indonesia yang kebetulan bekerja di sektor perhotelan pun mulai cemas dan khawatir akan nasib mereka. Hunian hotel tempat mereka bekerja yang biasanya dipenuhi para tamu dari negara tetangga, kini sepi dan lengang. Ancaman PHK pun mulai menghantui mereka.
Mungkin yang paling terpengaruh konflik ini dari aspek kehidupan sosial, yaitu adanya semacam pemutusan tali silaturrahmi. Banyak penduduk Asli Qatar yang "terusir" dari negara-negara yang mengisolasinya. Karena ikatan keluarga, pekerjaan dan pendidikan, banyak penduduk Qatar yang tinggal sementara di negara tetangganya, kini mereka pun harus rela terpisah dari keluarga, darah daging, teman teman kantor dan kawan kuliahnya.
Dari segi ekonomi, awalnya terjadi rush perburuan dolar. Sempat langka beberapa waktu karena kebetulan bank-bank di Qatar tutup seiring libur panjang Idul Fitri. Untungnya hal ini tidak berlangsung lama, setelah liburan usai pun mata uang Paman Sam ini kembali tersedia di pasaran. Tidak terjadi depresiasi atau penurunan nilai mata uang riyal Qatar terhadap dolar, karena pemerintahnya sudah lama menerapkan kebijakan pegging (mematok nilai tukar)Â mata uang riyal terhadap USD.
Qatar meskipun kecil wilayahnya tapi dipandang kuat dari segi fundamental ekonominya. Pernah menyandang predikat sebagai salah satu negara terkaya di dunia, isloasi dan pemblokadean terhadap Qatar mungkin tidak terlalu membawa pengaruh signifikan terhadap perokonomian dan pemerintahan Qatar. Kehidupan di sini tak banyak berubah, berjalan biasa seperti sebelum terjadi blokade.
Meski hidup di Qatar relatif tak banyak berubah, tapi kekhawatiran, ketakutan dan ketidakpastian hampir menyelimuti semua penduduk negeri ini. Inikah yang sebenarnya ingin dicapai dan tujuan akhir dari drama pengisolasian Qatar ini? Yaitu tumbuhnya ketidakpastian, rasa takut dan khawatir sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah Qatar dan Emirnya? Akhirnya bisa ditebak, pergantian rezim atau pergantian kebijakan adalah tujuan akhirnya.Â
Mengutip ungkapan Zygmunt Bauman di atas, Qatar hanyalah sebuah contoh dari klaim kebenaran yang bersifat cair, persekutuan dan permusuhan yang cair. Qatar yang tadinya dianggap sekutu dalam memerangi terrorisme, kini dituduh sebagai negara penyokong gerakan teroris. Dari kawan menjadi lawan. Kini Qatar dilabeli sebagai tetangga nakal. Dikucilkan penduduknya dan digagahi kedaulatannya.
Semoga blokade cepat usai dan konflik menemukan titik temunya. Semua berharap banyak ke negara-negara yang berkonflik ini, mereka adalah negara yang saling bertetangga, satu ras, agama dan awalnya merupakan sekutu solid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H