[caption caption="Presiden Jokowi Berbincang Dengan Petani Yang Sedang Panen, sumber: www.katakini.com"][/caption]Indonesia sebagai negara agraris sudah mutlak memiliki sumberdaya alam yang subur dan hasil pangan yang melimpah. Bahkan, tongkat pun ditanam bisa tumbuh menjadi tanaman. Sejarah membuktikan, Indonesia dijajah selama 350 tahun karena para negara penjajah ingin menguasai secara besar-besaran komoditi pertanian Indonesia yang sangat beragam, melimpah, dan bernilai ekonomi tinggi bahkan memiiki keunggulan komparatif.
Namun, sejak negara Indonesia Raya berdiri, masyarakat petani Indonesia identik dengan masyarakat miskin dan berprofesi rendah. Para raksasa pemilik modal selalu menghegemoni kehidupan dan lahan milik petani. Lagi-lagi ini dikarenakan petani tidak memiliki modal dan kemampuan untuk mengolah lahannya. Petani beraktivitas hanya untuk mempertahankan hidup atau dikenal subsisten di bawah jeratan hutang. Kondisi ini menandakan kehidupan petani jauh dari kesejahteraan.
Bung Karno sebagai pelaku sejarah dan pejuang, telah mewakafkan diri dan keluarganya melawan raksasa kapitalis karena petani Indonesia hanya dijadikan buruh tani atau budak. Padahal, petani memiliki sawah, alat pertanian dan rumah sendiri, tetapi tidak memakan hasilnya (Adjar Any, 1978).
Di era Indonesia telah dinyatakan merdeka pun yakni Orde Baru, Orde Lama bahkan sampai di era Demokrasi, kondisi petani masih di bawah garis kemiskinan dan menjadi buruh tani. Bahkan, minat masyarakat makin menjauh untuk terjun ke pertanian. Hasil Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 membuktikan, jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan sebesar 17.728.185 rumah tangga. Jumlah tersebut turun sebanyak 979.867 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Artinya, persoalan dan keluhan petani selama ini belum terselesaikan. Hal ini tentu menyebabkan masyarakat petani belum dapat keluar dari kemiskinan. Ini merupakan problem besar yang mengganjal Indonesia untuk mengangkat komoditi pangan di mata dunia.
Faktor yang menyebabkan masyarakat petani masih dalam keadaan miskin tersebut, di antaranya disebabkan karena, pertama, kepemilikan lahan petani yang sempit. Masalah ini tentu menyulitkan para petani untuk menyangga kehidupan keluarganya. Kepemilikan lahan sawah di Indonesia saat ini rata-rata hanya 0,5 hektar. Keadaan ini jauh tertinggal jika dibanding dengan negara lain, seperti petani padi di Thailand, rata-rata memiliki luas lahan garapan 5 hektar per kepala keluarga (KK), di Malaysia 4 hektar per KK, dan bahkan di Australia mencapai 100 hektar per KK (Sumarno dan Unang, 2010).
Kedua, kemiskinan petani terjadi juga karena kemiskinan struktural. Yaitu karena adanya ketimpangan dalam struktur ekonomi negara kita atau pendistribusian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk petani. Ketimpangan ini terlihat ketika pemerintahan Orde Baru yang pembangunannya sentralistik atau sekitar 80 persen di Pulau Jawa, sedangkan daerah timur dan lainnya hanya 20 persen. Kondisi ini tentu berdampak pada perhatian pemerintah di sektor pertanian dalam memberikan bantuan dan apapun bentuk insentif pemerintah pada sektor pertanian.
Ketiga, jaminan harga yang diberikan pemerintah melalui harga pembelian pemerintah (HPP) selama ini tidak wajar. Penentuan besaran HPP hanya memperhitungkan pengeluaran petani dari segi input produksi saja. Namun, biaya petani yang tidak terlihat seperti biaya sosial, biaya menunggu selama masa panen dan biaya penyusutan alat pertanian dan peralatan rumah tangga tidak diperhitungkan. Harga pangan petani pun selama ini lebih banyak diserahkan pada sistem mekanisme pasar. Contoh, maraknya Impor beras raskin menyandera harga produksi petani yang notabenenya high quality. Â
Harus diketahui, sistem mekanisme pasar menyebabkan bargaining position pedagang relatif kuat dibandingkan produsen dan konsumen sehingga profit marjin yang dinikmati pedagang jauh lebih tinggi dibandingkan dari produsen. Faktanya, secara agregat bahwa total marjin dari tujuh komoditas pangan yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, gula dan daging sapi mencapai Rp 384 triliun dengan rincian marjin yang dinikmati 318 ribu pedagang Rp 297 triliun (77,3%), sedangkan 104 juta produsen menikmati marjin Rp 87,9 triliun (22%). Dengan demikian besarnya marjin tidak seimbang yakni 1 berbanding 1.116. Ketimpangan ini telah berlangsung lama dan berkontribusi sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan petani (Suwandi, 2016).
Bagaimana menuntaskan kemiskinan petani dan menjadikan Indonesia Sang Raksasa Pangan?
Pemerintahan Jokowi-JK telah mengedepankan persoalan pangan sebagai persoalan fundamental yang dapat mengancam kedaulatan negara. Sebab, apabila negara kita mengalami kelangkaan bahan pangan, maka akan terjadi kerusuhan di mana-mana yang mengarah pada disintegrasi sosial. Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan produksi, menghemat biaya petani dan perlindungan petani dengan tujuan agar petani dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Bahkan agenda besarnya adalah menjadikan Indonesia Sang Raksasa Pangan.
[caption caption="Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman Berbincang Dengan Petani di Kab. Tuban, Jatim Yang Sedang Melakukan Panen Padi, Sumber: Dok. Humas Kementan"]