Mohon tunggu...
Abiyadun Masykur
Abiyadun Masykur Mohon Tunggu... -

Praktisi muda pertanian, Perkumpulan Alumni Muda Institut Pertanian Bogor (PADI)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dua Tahun Era Jokowi-JK, Ekspor-Impor Pangan dan Upah Buruh Tani "On the Track"

20 Oktober 2016   17:23 Diperbarui: 20 Oktober 2016   21:36 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo bersama para petani jagung di Desa Kampasi Meci, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (11/4/2015). (dok. Kementan)

Tahun ini, pemerintahan Jokowi-JK menginjak masa bakti dua tahun. Dalam visinya yang tertuang dalam Nawa Cita, Presiden Jokowi mendeklarasikan untuk fokus membangun pertanian yang berdaulat dan memanusiakan petani. Dalam agenda ketujuh Nawa Cita disebutkan “Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan Menggerakkan Sektor-sektor Strategis Ekonomi Domestik, menitikberatkan pada upaya mewujudkan Kedaulatan Pangandan Mensejahterakan Petani”.

Bentuk keseriusan pun kembali dipertegas Presiden Jokowi di depan para kepala daerah di Jakarta, tanggal 4 Agustus lalu yang mengatakan, “Daerah harus fokus mengelola potensinya secara tuntas dari hulu sampai hilir. Jangan ingin mengerjakan semuanya tetapi tidak ada yang tuntas.” Tentang pangan pun Presiden Soekarno pernah berpesan, ”Persoalan pangan adalah persoalan hidup-matinya suatu bangsa.”

Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman selalu mengatakan, “Kita jangan mewariskan impor dan kemiskinan bagi generasi mendatang.” Pernyataan-penyataan inilah yang menjadi satu inspirasi dalam membangun pertanian secara berkelanjutan dan harus mengedepankan asas manfaat yang diperoleh petani, bukan semata-mata pada kelompok pelaku usaha atau pihak tertentu. Tak ayal, Mentan Amran telah “mendeklarasikan” perlawanan atas praktik kartel pangan yang telah terbukti memiskinkan petani sekaligus merugikan konsumen.

Lalu, apa hasil nyata komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap perkembangan ekspor-impor pangan dan upah buruh tani? Tentang hal ini tentunya tidak diragukan akan hasil diperoleh. Pada tanggal 17 Oktober 2016, BPS merilis beberapa data strategis tentang data perdagangan dan perkembangan rupiah. Data tersebut mengungkapkan kebijakan dan program strategis Kementerian Pertanian sudah on the track dalam meningkatkan ekspor, menurunkan impor, dan meningkatkan upah buruh tani atau dengan kata lain telah mendongkrak kesejahteraan masyarakat.

Data BPS tersebut menyebutkan, ekspor nonmigas September 2016 mencapai US$11,45 miliar atau naik 2,85 persen jika dibandingkan ekspor September 2015. Impor nonmigas September 2016 mencapai US$9,55 miliar atau naik 0,95 persen jika dibandingkan September 2015. Barang nonmigas ini seperti hasil perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan dan hasil pertambangan yang bukan berupa minyak bumi dan gas.

Terkait perkembangan upah buruh tani, pemerintah mampu menongkelnya sehingga buruh tani mampu memenuhi kebutuhan pangan dan lepas dari jeratan kemiskinan. Tercatat, data BPS menyebutkan, upah nominal harian buruh tani nasional pada September 2016 naik 0,24 persen dibanding upah buruh tani Agustus 2016, yaitu dari Rp 48.120 menjadi Rp 48.235 per hari.

Dengan begitu dapat disimpulkan, apabila merujuk pada indikator Bank Dunia dalam menentukan kemiskinan dengan batasan penghasilan USD 2 per hari (dengan kurs sebesar Rp13.000 per USD), maka buruh tani saat ini tidak ada yang dalam keadaan miskin.

Untuk itu, harus diakui bahwa prestasi ekspor-impor nonmigas dan upah buruh di atas merupakan kontribusi besar dari pencapaian pembangunan sektor pertanian pemerintahan Jokowi-JK. Hal ini terungkap dari Data BPS 2016 yang merilis Angka Tetap produksi padi tahun 2015 sebanyak 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 4,55 juta ton (6,42 persen) dibandingkan tahun 2014. Produksi jagung sebanyak 19,61 juta ton pipilan kering atau naik 0,60 juta ton (3,18 persen) dibandingkan tahun 2014.

Sementara itu, produksi kedelai pun ikut naik, produksinya 963,18 ribu ton biji kering atau naik 8,19 ribu ton (0,86 persen) dibandingkan tahun 2014. Kemudian di akhir 2016, berdasarkan ARAM II BPS diprediksi terjadi peningkatan produksi padi sebesar 79,14 juta ton dan jagung 23,16 juta ton.

Peningkatan produksi ini memberikan dampak peningkatan volume ekspor komoditas padi, jagung, kedelai, bawang merah, dan cabai di tahun 2015 yang mencapai 290.035 ton. Sementara ekspor di tahun 2014 hanya sebesar 115.617 ton.

Demikian juga impor jagung turun 60 persen di tahun 2016. Impor jagung turun 47,5 persen pada periode Januari-Mei 2016 dibandingkan Januari-Mei 2015. Tidak ada impor bawang merah sampai dengan Mei 2016 atau turun 100 persen dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya.

Di tahun 2016 pun tidak ada impor beras medium. Adapun impor beras 2016 impor beras per Januari-September 2016 yang mencapai 1,14 juta ton merupakan beras khusus untuk keperluan hotel, restoran, dan rumah sakit bagi penderita diabetes, bukan untuk masyarakat umum.  

Kebenaran ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi IV DPR, Daniel Johan. Di mana tahun ini tidak ada izin impor beras yang dikeluarkan pemerintah. Sebab, di tahun ini pemerintah telah berhasil meningkatkan produksi beras hingga 79 juta ton. Menurutnya, dengan meningkatkan produksi dalam negeri, stok beras nasional sudah cukup hingga akhir tahun ini. Bahkan, stok tersebut akan bertambah lantaran adanya panen raya pada bulan depan (Rakyat Merdeka, 20/10/2016).

Tak mengherankan, dengan capaian ini, peringkat produksi padi Indonesia di tingkat dunia berada di nomor 3. Begitu pun peringkat produksi kedelai menempati nomor 13 dunia dan produksi jagung menempati peringkat nomor 7 dunia.

Harus dicatat, kebijakan impor beras khusus merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan seluruh elemen bangsa yang harus dijamin berdasarkan amanat konstitusi. Oleh karena itu, adanya impor beras yang dimaksud di atas, tidak bisa dijadikan dasar untuk menghakimi kinerja pemerintah bahwa telah gagal mewujudkan swesembada pangan khususnya beras.

Secara logika tingkat pendidikan dasar saja, tidak mungkin dalam waktu seumur jagung (2 tahun) pemerintahan Jokowi-JK mampu mewujudkan swasembada pangan yang komoditasnya cukup beragam. Sebab, di tengah upaya peningkatan produksi dihadapkan pada berbagai faktor terutama alam yang tidak bisa diprediksi. Bahkan, tidak ada satu teori pun di dunia ini yang mengatakan membangun pertanian dapat dilakukan dengan cara instan.

Faktanya, India kini bisa lepas dari ketergantungan pangan impor atau berdaulat pangan dengan membutuhkan waktu panjang, yakni 30 tahun. Demikian juga Meksiko yang dulu sebagai negara yang rajin impor daging, kini menjadi negara pengekspor, salah satunya ke Indonesia. Oleh karena itu, dengan capaian produksi di atas, jika benar-benar memiliki niat membangun bangsa, kita harus berbesar hati untuk mengapresiasi kinerja pemerintah saat ini.

Semua pencapaian yang dibeberkan di atas merupakan hasil dari kebijakan kontroversial yang dijalankan pemerintah melalui Kementerian Pertanian di bawah komando Andi Amran Sulaiman. Kebijakan tersebut sebuah radikalisasi paradigma dalam meletakkan posisi penting sektor pertanian dalam pembangunan nasional (Gamal Institute, 2016).

Dalam 2 tahun terakhir, bentuk nyata kebijakan kontroversial tersebut yakni dengan berani merevisi berbagai regulasi yang menghambat, salah satunya mengubah sistem tender menjadi penunjukan langsung. Kebijakan lainnya perbaikan infrastruktur 3 juta ha sawah dan alat mesin pertanian (alsintan) 180 ribu unit, peningkatan penanganan on-farm dan pascapanen, perbaikan tata niaga dengan memotong rantai pasok yang terlalu panjang dari 9 menjadi 3, dan peningkatan investasi dan hilirisasi. Kebijakan pun fokus pada pengendalian impor dan mendorong ekspor.

Tak hanya itu, pemerintah pun melakukan perbaikan tata kelola dengan cara program dirancang secara sistemik dan masif, setiap kegiatan dilaksanakan dengan output terukur, pengawalan program ketat melibatkan semua unsur termasuk penegak hukum, pemantauan secara harian atau mingguan, diterapkan sistem reward and punishment. Alhasil, masalah di lapangan langsung cepat diselesaikan, birokrasi semakin transparan, bersih dan melayani petani, pengoplos pupuk diproses hukum, pelaku kartel diproses KPPU, dan penyelundupan maupun impor illegal ditangkap.

Untuk itu, agar swasembada dapat dicapai dalam jangka waktu menengah dan panjang, pemerintah teruslah konsisten menjalankan kebijakan dan program di atas. Kalau memang swasembada pangan dapat dicapai dalam waktu singkat, tentunya tidak perlu menunggu waktu yang lama.

Oleh karena itu, pemerintah harus menekan tombol kecepatan tinggi agar semua unsur di internal dan luar Kementerian Pertanian bergerak bersama membangun pertanian yang berdaulat dan menyejahterakan petani. Pembangunan pertanian harus diintegrasikan dengan budaya sehingga pembangunan pertanian berkelanjutan dapat terwujud. Bahkan, pertanian Indonesia menjadi terdepan di mata dunia karena tidak hanya unggul dalam produksi tetapi memiliki keunggulan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun