Mohon tunggu...
Abiyadun Masykur
Abiyadun Masykur Mohon Tunggu... -

Praktisi muda pertanian, Perkumpulan Alumni Muda Institut Pertanian Bogor (PADI)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengurai Pandangan Paradoks Pengamat Pertanian

3 Mei 2016   08:17 Diperbarui: 3 Mei 2016   17:07 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan fundamental pembangunan pertanian di atas telah berhasil melakukan transformasi struktural di sektor pertanian. Di mana saat orde baru, petani sebagian besar menggunakan alat untuk berusaha tani secara tradisional. Namun di era pemerintahan saat ini, petani sudah menggunakan alat dan mesin pertanian yang modern bak di negara maju. Faktanya, tidak lagi menanam dan memanen dengan manual, tetapi sudah menggunakan transplanter dan combain harvester. Artinya, pembangunan pertanian saat ini telah menjawab persoalan mendasar yang dihadapi petani dan paradoks pertanian.

Oleh karena itu, dari capaian kenaikan berbagai produksi di atas membuktikan dan menyadarkan publik bahwa, pertama, anggapan para pengamat adalah keliru yang menuding produksi pangan saat ini turun dan program pertanian saat ini pun mirip di era orde baru dengan impor meningkat 346 persen. Kedua, anggapan pengamat yang menuding pemerintah saat ini tidak membuat desain jangka panjang, khususnya pertanian pangan, tetapi bersifat ad hoc pada padi, jagung dan kedelai adalah keliru. Faktanya, data di atas menunjukkan terjadi peningkatan produksi pangan yang tidak hanya pada padi, jagung dan kedelai. Ketiga, tudingan program yang dijalankan pemerintah saat ini sama persis bahkan hasil dari program pemerintah saat ini juga mirip seperti sepuluh tahun sebelumnya adalah pandangan yang keliru juga dan membodohi publik.

Keempat, data yang dijadikan dasar menggagalkan capaian kebijakan pemerintah sangat diragukan validitasnya, mengingat lembaga resmi negara yakni BPS telah merilis data keberhasilan program pertanian. Sementara para pengamat ini cenderung tendensius dan pragmatis memilih rujukan data bahkan tidak memiliki rujukan yang jelas. Akibatnya, memicu kesimpulan yang paradoks, membingungkan diri mereka sendiri dan membingungkan publik.

Kelima, membandingkan kemajuan pertanian di Amerika dengan Indonesia menunjukkan jalan berpikir para pengamat yang tidak memahami sosio-kultural dan tahapan transformasi struktural yang terjadi di kedua negara tersebut. Menurut Jay Fisher, Direktur Pusat Riset Distrik di North Dakota State University, petani di Amerika sudah menggunakan internet untuk mencari berbagai informasi perkembangan dan persoalan yang dihadapi dalam pertanian bahkan mereka bisa menentukan apa yang akan ditanam atau di mana hasil panen akan dijual melalui internet.  Selain mesin-mesin besar yang dipakai memanen, petani di Amerika juga memiliki perlengkapan penanda lokasi semacam GPS (global positioning system) yang bisa menuntun jalannya traktor sehingga tidak belok ke lahan orang. Full mekanisasi ini, mengingat tiap petani menggarap rata-rata 1.000 hektar lahan.

Fakta ini sangat bertolak belakang dengan kondisi pertanian sampai saat ini apalagi di era orde baru. Pertanian di era Jokowi-JK baru memasuki fase transisi dari pertanian semi modern ke pertanian modern yakni mekanisasi yang belum pada tahap final full mekanisasi. Sehingga, sangat keliru membandingkan kemajuan tingkat produktivitas di kedua negara tersebut. Harus dicatat, penguasan lahan pertanian di Indonesia hanya dikuasai rata-rata 0,3 ha per petani, sementara di Amerika rata-rata penguasaan lahannya 100 ha per petani yang mau tidak mau harus kelola dengan konsep industrial. Di sini lah letak perbedaan mendasar yang tidak bisa membandingkan pertanian di kedua negara tersebut dan juga letak kesalahan berpikir para pengamat.

Keenam, tudingan para pengamat bahwa pembangunan pertanian saat ini tidak memiliki rencana jangka panjang adalah tidak benar dan tidak membuka diri akan informasi kebijakan pemerintah. Berdasarkan rencana strategis Kementerian Pertanian 2015-2019, kebijakan jangka panjang meliputi penyendiaan lahan pertanian skala besar 1 juta ha contohnya telah ditetapkan untuk dibuka di Merauke. Penyediaan lahan yang sudah berjalan yaitu untuk pengembangan peternakan menggunakan sewa lahan Perhutani Rp 2.000 per ha. Program jangka panjang lainnya, Kebijakan pengembangan produk berdaya saing, ekspor, substitusi impor serta bahan baku bioindustri dan Kebijakan pengembangan sarana, infrastruktur dan agroindustri di perdesaan sebagai landasan pengembangan bioindustri berkelanjutan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, wajah pertanian saat ini sudah jauh berbeda ke arah yang lebih modern dibandingkan dengan era sebelumnya apalagi di era orde baru. Kebijakan pertanian pemerintah saat ini pun telah menghasilkan surplus produksi pada berbagai komoditas dengan harga stabil. Untuk itu, ketiga pengamat agar tidak menggunakan kaca mata kuda dalam menilai persoalan pangan dan capaian keberhasilan kebijakan pangan saat ini. Seandainya ketiga pengamat yang notabenenya akademisi dan pensiunan Kementerian Pertanian mau membuka diri dan menggali lebih jauh informasi akan rencana strategis dan keberhasilan pertanian saat ini, maka tidak akan terjadi pandangan paradoks dalam menilai pembangunan pertanian era Jokowi-JK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun