Mohon tunggu...
Aenun Najib
Aenun Najib Mohon Tunggu... -

Seseorang yang belum banyak tahu, dan ingin lebih banyak tahu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Dari Ibuku

24 Desember 2012   01:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:08 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Wahai anakku…

Kutulis risalah ini dari tangan seorang ibu yang merana, yang ditulisnya dengan rasa malu, dalam kegelisahan dan lamanya penantian. Lama kupegang pena ini, hingga berlinanglah air mata ...

Wahai anakku...

Telah senja kini usia ibu dan aku telah melihat dirimu kini telah telah sempurna akal dan telah matang fikiranmu. Anakku, diantara hak ibu sudilah kiranya engkau membaca surat ini, namun bila enggan wahai anakku, robeklah surat ini sebagaimana engkau telah merobek-robek hati ibumu.

Wahai anakku...

31 tahun yang silam kebahagiaan paling besar kurasakan dalam hidupku, tatkala seseorang mengabarkan kehamilanku, dan setiap ibu wahai anakku, sungguh telah mengetahui makna kalimat ini dengan baik, sungguh itu merupakan kebahagiaan dan kegembiraan. Kebahagiaan dan kegembiraan yang keenam kali dariku yang mengandung anak dari ayahmu. Saat itulah mulainya awal kepayahan dan perubahan dalam tubuhku, seperti yang pernah kualami sebelumnya ketika mengandung kakak-kakakmu,  setelah berita kegembiraan ini. Ibu mengandungmu selama 9 bulan dengan penuh kebahagiaan, aku bangkit, tidur dan makan dengan penuh kesulitan, dan aku pun bernafas dengan kepayahan. Namun… Semua kesulitan dan kepayahan ini tidak mengurangi sedikitpun rasa cinta dan sayangku padamu, bahakan cinta kasihku semakin bertambah padamu, dengan berjalannya waktu kian bertambah besar rasa rinduku menanti kehadiranmu. Aku mengandungmu anakku dengan penuh kepayahan dan rasa sakit yang tiada terkira. Betapa gembiranya diriku tatkala kurasakan pergerakanmu dan bertambah pula kebahagianku manakala kurasakan bertambahnya berat tubuhmu yang tentunya membuat berat bagi diriku. Sungguh inilah kepayahan yang panjang kurasakan…

Datang malam-malam dimana aku tak dapat tertidur dan kedua mataku pun tak kuasa tuk kupejamkan anakku… Kurasakan rasa sakit, kegelisahan, dan rasa takut yang mencekam yang tak bisa ku ungkapkan dengan pena ini dan ku katakan dengan ungkapan lisan. Hingga aku melihat dengan kedua mataku seakan-akan kematian akan menjemput diriku, sampai akhirnya… Kamu terlahir kedunia. Air mata kepedihanku terpancar bersamaan dengan jerit tangismu. Hilanglah semua rasa sakit dan kepedihan…

Telah berlalu masa-masa dimana aku meninabobokanmu didadaku, dan aku mandikan dirimu dengan kedua tanganku, kujadikan pangkuanku sebagai ranjang bagimu dan susuanku sebagai makan untukmu. Aku terjaga sepanjang malam agar kamu dapat tertidur pulas dan aku berlelah diri disiang hari untuk kebahagiaan dirimu, kebahagiaanku. Tatkala kamu meminta sesuatu pada ibu dan segera kupenuhi pintamu, itulah puncak tertinggi kebahagianku. Telah lewat malam-malam dan telah berlalu hari demi hari. Demikian kulakukan semua itu untuk kebahagiaanmu, melayanimu sepenuhnya dan tidak melalaikanmu, menyusuimu tiada henti-hentinya dan merawatmu tanpa ada raa kebosanan hingga bertambah besar tubuhmu.Telah berlalu masa kanak-kanakmu, saat ibu selalu terlebih dahulumenyisir rambutmu ketika kau akan pergi bersama teman-temanmu untuk bermain di luar rumah, juga saat kau menggunakan rompi dan dasi kupu-kupu berwarna hijau di kenaikan kelas satumu. Juga telah berlalu masa remajamu, saat kau pertama kali mulai tertarik dengan lawan jenismu dan ibu menemukan coretan pena yang rupanya konsep suratmu untuk kau kirimkan kepada si penarik perhatianmu itu.

Lalu tibalah waktu pernikahanmu yang membuat sedih hatiku, berlinang air mataku karena kebahagiaan dengan lembaran hidup barumu bercampur duka yang dalam karena akan berpisah denganmu. Satu persatu anak ibu mulai meninggalkankusepeninggal ayahmu.

Kemudian tibalah masa-masa yang amat berat bagi diriku, dimana kurasakan dirimu kini bukanlah buah hati yang dahulu kukenal. Sungguh engkau telah mengingkari diriku, melupakan hak-hakku. Hari terus berlalu dan tidak pernah lagi kulihat dirimu, tidak pernah kudengar suaramu…

Apakah kamu lupa kepada seorang wanita yang telah memeliharamu dengan penuh rasa cinta…?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun