Mohon tunggu...
Abioyiq
Abioyiq Mohon Tunggu... Administrasi - Pegendara Masa

Menulis menyalurkan redundansi agar tak menjadi keruntuhan diri

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Seruit Pindang Baung = Mertua Lewat Tak Lagi Ditegur

9 Januari 2012   09:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_162515" align="alignleft" width="300" caption="Source: Minjem Dari Google"][/caption] Kali pertama berinteraksi dengan Seruit, saya merasakan mual dan mau muntah. Bagaimana tidak, bagi seorang keturunan Jawa Barat melihat bagaimana seruit dihidangkan, aromanya yang aneh serta rasanya yang waktu itu masih "tidak jelas", sulit bagi saya untuk mengkategorikan seruit sebagai salah satu jenis makanan. Seruit adalah makanan khas suku Lampung pepadun, suku Lampung pepadun merupakan suku Lampung yang tinggal di daerah sekitar Kabupaten Lampung Tengah dan Utara. Seruit sangat digemari oleh kebanyakan masyarakat Lampung, baik dari pepadun atau dari pesisir. Teringat ketika seorang teman kuliah lulus lebih dulu ketimbang saya. Kami teman-teman sekampus memenuhi undangan dia untuk makan-makan di rumah orang tuanya merayakan kelulusan tersebut. Kami makan berhadap-hadapan secara bershaf. Di hadapan kami tersedia makanan berupa pindang ikan patin, sambal terasi, lalapan dan durian yang masih belum dikupas. Terbersit di benak bahwa setelah kami makan siang, nanti akan dilanjutkan dengan durian sebagai penutup. Tetapi apa yang saya terka tidak terjadi. Teman tersebut mengambil sepiring nasi kemudian, dimintanya sebuah piring kecil, di piring ini dia menaruh sepotong ikan patin, dicampurnya dengan sambal terasi dan terakhir dia membelah durian. Di sini saya agak bingung, untuk apa dia membelah durian. Ternyata diambilnya sebaris buah dan dipisahkannya daging dari biji, lalu dicampurnya daging durian dengan ikan dan sambal terasi. Terakhir dilumatnya ikan, sambal dengan durian menggunakan tangan sampai hancur dan menyatu. Dan dia menjadikannya campuran makan nasi plus lalap. Sejenak saya terkesiap tak percaya, durian dimakan bersama nasi? Tapi keterkejutan itu tak berlangsung lama. Sejurus kemudian beberapa teman Lampung yang lain mulai melakukan hal yang serupa dan makan dengan sangat lahap. Saya cicip seruit yang dibuat oleh teman di sebelah saya, aromanya tak jelas dan rasanya manis, asin, pedas serta sedikit amis. Saya tak sanggup untuk meniru mereka yang makan seruit seperti tiga hari belum ketemu makanan. Saya memilih untuk makan nasi, ikan dan sambal terasi seperti biasa. Kemudian di akhiri dengan durian sebagai cuci mulut. Seruit sebenarnya banyak disiapkan bersama ikan bakar atau goreng, tempoyak (durian yang mengalami fermentasi) dan sambal terasi. Tetapi ikan yang dipindang pun banyak dijadikan campuran seruit, apalagi menurut mereka sedikit tambahan kuah akan menambah kesegaran rasa seruit. Yang tak berubah dari seruit adalah campuran tempoyak dan sambal terasi. Kali kedua bertemu dengan nasi campur durian adalah di rumah mertua. Kebetulan mertua dari suku Lampung Pesisir. Tempoyak diberi sambal dan potongan petai, kemudian tempoyak digoreng, jadilah tempoyak yang lebih mirip sambal. Warnanya tak lagi menguning melainkan kemerahan dengan hiasan petai di sana-sini. Aromanya khas durian bercampur sambal. Tempoyak sambal ini dimakan bersama nasi, ikan dan lalap. Bedanya ikan, tempoyak dan sambal tidak dilumat menjadi satu tetapi dimakan terpisah. Lidah saya pada saat itu mulai bertoleransi dengan durian plus nasi. Tetapi tetap belum menikmatinya. Rasa aneh di mulut dan aroma yang sangat aneh bagi saya saat itu mengurangi kenikmatan makan bersama nasi. Perubahan terjadi ketika seorang paman dari istri yang kebetulan bekerja di Instansi yang sama dan sama-sama menempuh perjalanan lima jam pulang untuk bertemu keluarga, sering mengajak makan di sebuah rumah makan di daerah Lampung Tengah, Bandar Jaya tepatnya. Rumah makan ini menyajikan hidangan Sumatera Selatan. Namanya pindang meranjat. Hal yang  kentara membedakan pindang ikan lain dengan pindang meranjat adalah adanya nanas dan cabe merah sebagai bumbu. Nanas membuat kuah pindang terasa segar dan cabe menambah selera dengan rasa pedasnya. Rumah makan tersebut juga menyediakan tempoyak bagi mereka yang senang nyeruit, variasi lalapannya pun sangat banyak. Sebut saja terong, daun jambu mete, kunyit putih, mentimun, petai, jengkol, kemangi, rebusan daun singkong dan labu siam serta lainnya. Melihat sang paman yang mulai mencampur sambal terasi dengan tempoyak, saya mulai mengerti kejadian berikutnya. Paman mengambil sebagian daging ikan baung dan mencampurnya dengan tempoyak dan sambal tadi. Ia melumatnya sampai tercampur, lalu diberinya kuah sedikit agar lebih segar. Lalu paman berujar, "tau gak di, kalo udah ketemu seruit pindang baung kaya gini, mertua lewat gak lagi ditegor" dia terkekeh dan melanjutkan makannya yang lahap. [caption id="attachment_162519" align="aligncenter" width="300" caption="Source: minjem juga dari Google :)"]

13261013781759786931
13261013781759786931
[/caption] Sekali dua kali mampir di rumah makan tersebut, lidah saya mulai akrab dengan seruit. Bahkan dibeberapa kesempatan saya sering meminta istri untuk membuatkan pindang ikan baung. Tentu saja minta dicarikan tempoyak juga. Di sini lidah saya sudah menjelma menjadi lidah Sumatera. Makanan yang dulunya mencium aromanya saja bisa membuat mual, kini malah dicari-cari dan dirindukan. Kuah hangat pindang baung yang segar dan pedas, daging ikan baung yang putih dan padat, aroma dan rasa tempoyak yang eksotis, serta sambal terasi yang mantab sudah mengkavling tempat di ruang pikiran. Perpaduan antara makanan Sumatera Selatan dan Lampung lalu bermuara di lidah orang Jawa Barat, yang tadinya mual dan beraroma tak sedap, kini menjadi makanan eksotis yang dirindukan, benar kata paman, kalo sudah ketemu seruit pindang baung, MERTUA LEWAT TAK LAGI DITEGUR...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun