[caption id="attachment_197554" align="aligncenter" width="432" caption="Ilustrasi/Kampret (Ajie Nugroho)"][/caption] Masih seputar Menkes kita yang baru, satu lagi pernyataan yang disampaikan beliau satu paket dengan kondom adalah dukungan beliau dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau yang sebentar lagi akan dibahas. Beliau menyatakan dukungan yang besar terhadap hadirnya peraturan yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi anak-anak dan ibu hamil. http://www.tempo.co/read/news/2012/06/14/173410641/Nafsiah-Mboi-Janji-Dukung-RPP-Tembakau. Menkes sepertinya berusaha untuk fokus kepada dua segmen, anak-anak dan perempuan. Tetapi dalam link tergambar sikap beliau yang mendua. Satu sisi sebagai menteri kesehatan sudah tugas beliau untuk mengadvokasi larangan merokok yang jelas bisa merusak kesehatan, di sisi lain posisinya sebagai seorang pejabat negara harus juga memperhatikan imbas bagi para petani dan 8 juta orang yang berkecimpung dan mencari nafkah dari industri tembakau. Link yang lain http://tokogobeng.wordpress.com/2012/02/26/pengusaha-rokok-jadi-kaya-karena-orang-miskin/ menyajikan data bahwa pada tahun 2005 penelitian Kosen Suwarna menemukan angka yang mencengangkan tentang jumlah rupiah rakyat Indonesia demi menyembuhkan penyakit berkaitan dengan rokok dalam setahun, 127.7 Triliun. Padahal cukai rokok pada saat itu hanya menyumbang Rp 16.5 Triliun bagi pendapatan negara. Sangat tidak imbang. Dari satu data ini saja apakah bijak jika kita masih mengandalkan alasan sumbangan pendapatan cukai rokok demi membolehkan tembakau untuk terus membunuh rakyat kita secara pelan-pelan. Belum lagi imbas ikutan lainnya. Generasi penerus bangsa akan mewarisi kondisi fisik yang lemah dan rentan. Harapan hidup menurun. Bisa dibayangkan seperti apa para pengambil keputusan di negeri ini pada periode berikutnya. Apakah dampak ikutan ini bisa dituangkan dalam sejumlah uang sebagai kompensasinya. Pencarian link seterusnya berhenti pada sebuah video yang sangat informatif, jujur dan apa adanya. http://www.youtube.com/watch?v=DiyWK3fzTpA Link ini menyajikan sebuah intipan dari seorang koresponden bernama Christof Putzel menyelinap dan melakukan observasi lapangan di Indonesia tentang industri rokok yang pada tahun 2011 mampu memberikan pendapatan dari cukai sebesar sekitar  7 Miliar Dollar. Awal ketertarikan Christof adalah sebuah link video yang memuat balita bernama Aldi Rizal. Balita dengan kecanduan nikotin dalam taraf yang mengkhawatirkan. Video tersebut menayangkan betapa Indonesia telah lama menjadi surga bagi Philip Morris sebuah perusahaan rokok yang berasal dari negeri paman sam. Sejarahnya Amerika atau lebih khusus kota New York merupakan surga bagi pecinta rokok. Seluruh segmen dan tempat memiliki kemudahan akses tembakau dan menjadi bagian dari gaya hidup. Philip Morris menghadirkan tokoh macho dalam iklannya. The Marlboro man. Digambarkan dengan lelaki Cowboy berkuda dan menghisap rokok Marlboro. Perubahan kemudian terjadi ketika Dewan Kota mulai mengadvokasi pembatasan rokok yang disadari bersama selain merusak kesehatan, juga membebani negara dalam hal pengalokasian dana bagi penyembuhan masyarakatnya. Tidak seimbang antara penghasilan dari rokok dengan dana yang dikeluarkan untuk melakukan pengobatan. Maka Marlboro Man pun pensiun. Usaha itu menjadi tonggak perubahan bagi Kota New York. Anda tak lagi melihat papan iklan rokok di seluruh sudut kota. Karakter iklan yang mewakili anak-anak seperti film kartun misalnya, juga mengganti ikon mereka untuk menghindari ketertarikan anak-anak mencoba merokok. Pajak rokok diperbesar sehingga harga rokok menjadi sangat mahal. Bayangkan anda harus merogoh kocek sebesar 12 Dollar Amerika atau sekitar hampir 120.000 Rupiah untuk mendapatkan sebungkus rokok Marlboro. Ditambah dengan Walikota New York yang juga senada dengan usaha pembatasan rokok. Walhasil seluruh disintensifikasi tersebut telah berhasil menghilangkan pemandangan perokok di sudut kota secara signifikan. Hatta para pengusaha rokok itu kehilangan pasar di negerinya sendiri. Mereka mulai membidik pasar lain. Asia adalah pasar paling potensial. Dengan penduduk berjumlah lebih dari seperempat milyar, bisa dihitung berapa batang rokok bisa terjual perharinya. Usaha dimulai dengan membeli 97 % saham Sampoerna. Philip Morris tidak sendirian, bersama dengan pendahulu dan kompetitor perusahaan rokok di Indonesia mereka bersama-sama menebar nikotin ke tubuh anak negeri ini. Wawancara Putzel bersama penggiat anti tembakau Indonesia bernama Ita Rahma, memberi gambaran betapa usaha untuk menyadarkan pemerintah Indonesia sangatlah berat, tapi Ita tak patah arang. Menggandeng Non Government Organization lain, Ita bersama-sama mencari solusi bagi masalah rokok di Indonesia. Ada juga wawancara dengan anggota dewan kita. Anggota dewan tersebut mengatakan memang rokok merusak kesehatan dan banyak yang meninggal karenanya, anggota dewan tersebut mengatakan menginginkan keadilan terhadap para petani dan mereka yang bergantung pada industri rokok. Lalu dimana letak keadilannya jika fakta bahwa nikotin bisa memicu ketagihan dikaburkan oleh mereka dari naskah peraturan tembakau malam sebelum disahkan presiden. Disinyalir telah terjadi tekanan dan lobi dari tiga perusahaan besar rokok di Indonesia sehingga beberapa kata tersebut hilang pada malam sebelum Presiden menandatanganinya. Kalau memang keadilan yang dicari, mestinya sampaikan secara fair bahwa nikotin memang menyebabkan ketagihan. Jangan karena ketakutan beberapa perusahaan rokok besar terhadap beberapa kata tersebut, yang menurut mereka dapat berimbas pada penjualan rokok ke depan, lalu maslahat masyarakat Indonesia digadaikan. Aldi Rizal dan beberapa balita lain merupakan bukti bahwa propaganda para pengusaha rokok yang mengatakan target penjualan mereka adalah usia 18 ke atas. Seorang juru bicara Philip Morris yang juga diwawancarai oleh Christof Putzel mengatakan tidak bisa dijeneralisir satu kasus menjadi keseluruhan kasus se-indonesia. Pernyataan ini sebenarnya menghina tingkat intelegensi rakyat Indonesia dan kemajuan sebaran informasi negeri ini. Betapa bukti lapangan menayangkan anak-anak SD, SMP, SMA adalah target penjualan mereka sesungguhnya. Hal ini dilontarkan juga oleh Masli, mantan pelaku iklan yang lama bergelut dengan PT Sampoerna dalam memasarkan produknya. Dia mengatakan target resmi adalah usia 18 ke atas tapi target tak resminya adalah 14 ke atas. Tahun lalu Indonesia menjadi panitia tempat pelaksanaan WTA, World Tobacco Asia. Sebuah kegiatan pameran industri tembakau dunia. Dalam kegiatan tersebut mereka membahas bahwa Asia adalah pasar paling potensial saat ini, Indonesia pada khususnya serta beberapa negara lain seperti Afsel, Pakistan dan target terbesar mereka adalah Cina. Bahkan panitia menginginkan tahun depan Indonesia kembali menjadi tuan rumah perhelatan akbar pengusaha-pengusaha rokok dunia. Bagaimana mengumpulkan keuntungan-keuntungan lagi dan lagi. Persetan dengan kesehatan masyarakat. Sadarkah banyak di sekeliling kita para kepala keluarga yang menghabiskan separuh penghasilannya demi rokok. Mengurangi gizi anak-anaknya. Membatasi akses sekolah mereka. Memberi contoh merokok dan merusak dirinya ke depan. Banyak anak yang sudah berinteraksi dengan rokok dari usia dini. Sadarkah rokok bertopeng juru selamat ekonomi, baik di pendapatan negara, iklan pendidikan, acara olahraga, bakti-bakti sosial dan berbagai CSR yang menyentuh masyarakat. Padahal milyaran batang rokok itulah yang menggerogoti mereka, menggerogoti perekonomian dan kesehatan. Lebih luas lagi menggerogoti generasi bangsa. Dalam pameran tersebut hal yang unik adalah mereka para eksekutif perusahaan adalah non perokok. Mereka hanya menjual, tak menghisap. Bisa di survey, banyak dari para pelaku bisnis dan karyawan level menengah ke atas di perusahaan rokok rata-rata adalah non perokok. Mereka memiliki standar hidup yang tinggi sehingga mengerti dan sadar kesehatan. Mereka mengerti jahatnya racun yang terkandung dalam sebatang rokok. Tetapi jahatnya mereka adalah mengerti tentang racun rokok dan tetap menjualnya. Mari kita merenung sejenak, kita mengerti ada yang salah dengan menjual rokok. Besar pasak dari tiang dari segi ekonomi. Bukan untung cukai melainkan rugi anggaran kesehatan, bahkan rugi generasi negeri ke depan. Kalau Menkes katakan kita juga punya 8 juta pelaku industri rokok yang harus dipikirkan. Mari duduk bersama dan dipikirkan. Membiarkan seperempat milyar penduduk negeri dalam ancaman nikotin demi 8 juta penduduk bukan juga merupakan hal yang bijak. Tetapi mematikan penghasilan 8 juta pelaku industri rokok juga bukan jalan keluar. Ini harus dipikirkan secara multisektoral, mulai dari pengambil kebijakan negerinya dahulu. Jangan arus bawah yang memulainya, khawatir bentuknya menjurus anarkis dan emosional. Jika kita sepakat ada yang salah dengan rokok, mengapa kita membiarkannya saja. Jika saja pengambil keputusan negeri dan anggota dewan kita supportif. Bersama stakeholder yang lain kita duduk bersama dan mencari jalan keluar terbaik. Menyusun roadmap alih usaha para pelaku industri tembakau sambil menerapkan disinsentifikasi penjualan rokok, mudah-mudahan negeri ini mengikuti pendahulunya Amerika Serikat, yang telah berhasil mengetatkan penjualan rokok. Putzel sempat mewawancarai tiga orang anak SMP yang kedapatan tengah merokok, ketika ditanya "Why do you smoke Marlboro?" si bocah dengan pede mengatakan "Because i'm a cowboy" lalu ketiga bocah itu tertawa lebar. Putzel berkomentar kemudian, "The retired marlboro man has shown in Indonesia, Indonesia is the new Marlboro Country." [caption id="" align="aligncenter" width="257" caption="Source : http://marlboromiles.cigarettes-online-store.com/gallery/marlboro-man.jpg"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H