Usah kau gugat kembali pertemuan ini. Meski berulang engkau habiskan kitab hukum terbaik di jagat bumi, niscaya mereka masih akan mengangguk dalam takzim. Mengiyakan semuanya tanpa terkecuali. Menyetujui keputusan yang mulia Tuhan Semesta Alam. Bahwa kita adalah tokoh-tokoh peran pembantu dalam lakon dunia.
Sekuat apapun ragamu melesat ke utara, seraya melepas jiwamu terbang ke selatan, demi engkau hindari pertemuan ini. Pahami rumusan alam bukanlah tandingan makhluk yang lemah semenjak lahirnya. Angin yang tiada tampak, cahaya yang mengarahkan, aroma memberi pertanda, menuju pesonamu.
Dan aku tak kuasa menafikan energi jiwamu. Memenuhi tanpa sisa, membalut tubuh dalam syahdu. Meresapi semuanya tanpa cela. Meski kucoba melawannya, menepis semua bayangan, menghabiskan waktu melupakan, mereka kembai hadir bahkan dengan lebih digdaya lagi.
Apalah dayaku kini, melunglai menggapai langit bersama tubuh yang menghamba gravitasi. Jatuh menahan ledakan sumringah jiwa nan membuncah, meluap luap menuju cahaya terang di pertengahan syawal. Aku tak kan lagi melawannya, maka izinkan aku berdamai dengan auramu.
Datang tanpa tanda, hadir meraja, sesuka mu saja. Ah, sudahlah. Aku lelah mengusirmu, tunggu sejenak akan kusajikan penganan terbaik dari dapur rasa, bersama uap hangat rempah yang memanja reseptor hati. Rasakan berjuta kalimat merefleksi kalbu. Bersama menyambut subuh hari kala mentari mencoba mengintip di sela bukit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H