Izinkanlah aku menggugat Tuhan
Atas penyematan hati yang bermahkota bodoh
Atas kemudahannnya menjelma melankolis
Mengulang kembali pembukaan sekatan
Menyambut sang tamu tergopoh-gopoh
Demi ia membawa buah tangan roman berbaris
Andaikan bukan lisan memanggil
Maka adakah angin menghadirkannya
Ataukah cahaya memindahkannya
Jika tidak keduanya, bisa jadi alam tengah bertingkah degil
Kini lihatlah sang tamu singgah serupa pongah
Meraja di seluruh ruang dalam benak
Menjejali setiap kubiknya dengan aroma semerbak
Memancarkan sinambung afsun tiada lengah
Pandangnya menjajah tanpa paksa
Gesturnya menyajikan semburat suasana jiwa
Lengannya merangkul lembut
Kalimatnya menyihir meski tak runut
Lalu bagaimanakah hendak mengusung abai
Ketika tenteram melenakan otot bahu
Lalu sahaja mengelus pelan kalbu
Seiring penaklukan tiba berhias tatap teduh damai
Inilah waktu bagi pertarungan klasik
Ketika pengendali jiwa bertemu rivalnya
Mengasah pencapaian kemampuan terbaik
Tapi sayang, mogok kerja hadir dari miliaran mitokondria selnya
Tak perlu kecerdasan seorang Tesla
Untuk memahami rumus rendahan tentang kekalahan
Engkau bahkan mampu mengendusnya dari kejauhan
Meski tersisa tiga molekul saja
Aku takkan meminta belas kasihan, hanya permakluman
Bahwa penguasa Eropa pun tumbang tak berjaya
Bahkan raja bengis pun mendadak kehilangan amarahnya
Hatta seorang bakhil pun mengambil peran sang dermawan
Kawan, biarkanlah aku bercakap dengan hening
Menikmati setiap bias rasa hinggap di teras hati
Memanfaatkan kisah manusia dewasa dalam fitrah bening
Mereguk cintanya dengan caraku sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H