Yang pertama perlu diluruskan, kredit rumah tanpa DP disampaikan oleh Anies-Sandi adalah PROGRAM, dan yang namanya program, tidak mungkin berupa silogisme. Dan dalam tulisan anda yang demikian panjang, anda sama sekali tidak menjelaskan dimana letak silogismenya, dan apa jenis silogismenya. Kemungkinan anda tidak paham (atau salah memahami), apa itu silogisme. Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Jika butuh penjelasan lebih lanjut soal silogisme, anda bisa membacanya di sini.
Saya hanya ingin menanggapi beberapa hal terkait tulisan anda.Â
Pertama, terkait Peraturan Bank Indonesia, itu sudah jelas. Sudah ada aturan yang ditetapkan sebelumnya dan memiliki kekuatan hukum. Jika Bank Indonesia TIDAK menerbitkan peraturan baru, maka Bank DKI tidak akan pernah bisa memenuhi apa maunya Anies (walaupun Anies duduk di kursi Gubernur). Bank DKI akan mendapat sanksi jika kemudian melanggar peraturan Bank Indonesia hanya sekedar memenuhi kemauan gubernur. Dan tentunya bukan preseden baik jika Gubernur sudah mengetahui adanya peraturan Bank Indonesia tersebut, lalu sengaja memerintahkan Bank DKI melakukan pelanggaran. Jadi program kredit tanpa DP ini pun sudah terkendala oleh legalitas hukum. Atau mungkin Anies bisa memaksa Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan peraturan pengganti, dengan konsekuensi semua bank juga boleh menawarkan kredit rumah tanpa DP.
Yang kedua, mengambil contoh program perumahan rakyat kemenpera, ataupun model perumnas jaman orde baru adalah kesalahan besar, karena Anies secara tegas mengatakan bahwa yang skema yang ditawarkan adalah warga mencari kredit sendiri, bukan pemerintah daerah yang membangunkan rumah. Artinya, ini bukan program perumahan rakyat seperti yang dilakukan kemenpera.Â
Yang ketiga, ini bukan soal mungkin tidaknya program tersebut dapat direalisasi atau tidak, tetapi mengenai kematangan konsep yang diusung oleh Anies-Sandi. Program kredit tanpa DP dilemparkan Anies pertama kali pada debat kandidat pilkada DKI yang ketiga, yakni sekitar seminggu lalu. Dan dalam kurun waktu yang demikian singkat, skema yang dikemukakan Anies berubah-ubah. Di atas panggung debat, ketika ditanya "bagaimana skema kredit TANPA DP tersebut?" Anies sudah berkelit dari TANPA DP menjadi nabung 6 bulan lalu dikonversi menjadi DP. Di sini sudah terjadi kontradiksi karena dari TANPA DP menjadi DENGAN DP (konversi dari nabung 6 bulan), sebab itu berarti debitur pertama harus menabung selama 6 bulan untuk DP. Sehari setelah pilkada, Anies dalam sebuah wawancana menjelaskan skema TANPA DP menjadi DP 0%. Jejak digitalnya masih basah, bisa di cek di sini.
Bahkan judul tulisan anda ini menggunakan 0%, padahal Anies bilang bukan 0% tapi Rp0,- (nol rupiah).
Lalu 2 hari kemudian, Anies mengemukan pernyataan baru, bahwa dirinya TIDAK PERNAH MENGATAKAN DP 0% tetapi DP Rp0,- (nol rupiah). Apa yang keluar dari mulutnya, dijilat kembali. Tapi berhubung seorang mantan rektor sanggup menjilat kembali kata-katanya sendiri, ya kita mau bilang apa? Tetapi masalahnya adalah apa beda Dp Rp0,- (nol rupiah) dengan DP 0%, karena secara hukum matematika, nilai 0 dikali berapapun, hasilnya tetap 0. Juga nilai 0 dibagi berapapun hasilnya tetap 0. Artinya DP Rp0,- jika dibagi dengan nilai rumah, lalu dikalikan 100%, maka hasilnya akan tetap 0%.Â
Setelah blunder Tanpa DP, DP nabung 6 bulan, DP 0%, lalu DP Rp0,- akhirnya timses merasa perlu untuk turun tangan menyelamatkan Anies, maka Mardani Ali Sera sebagai ketua timses Anies pun turun tangan. Muncullah pernyataan bahwa DP akan ditanggung oleh pemerintah daerah. Detailnya seperti apa? NANTI AKAN DIJELASKAN. NANTI! Kenapa nanti? Mungkin karena memang belum ketemu detailnya alias belum jelas. Lalu, apakah dengan ngeles ke DP ditanggung oleh pemda, lalu membuat program DP TANPA DP Anies Sandi menjadi reliable? Ternyata tidak juga.Â
Jika dikembalikan pada skema sebagaimana dijelaskan oleh Anies, warga mencari rumah sendiri, lalu mengajukan (berarti bukan program perumahan rakyat atau perumnas), Jikalau kemudian terjadi kredit macet, pengambil kredit tidak sanggup melanjutkan kreditnya, lalu bagaimana mempertanggungjawabkan uang DP yang sudah dibebankan pada pemda? Siapa yang akan menanggung (mengganti) uang negara yang dihamburkan untuk DP yang kemudian macet tersebut? Entah kalau Anies atau Sandiaga mau menanggungnya. Atau mungkin partainya Mardani Ali Sera bersedia menanggungnya.Â
Dan kemudian, ketika seminggu lalu Anies menjelaskan skema DP berasal dari nabung 6 bulan lalu dikonversi menjadi DP, kemudian timses mengatakan DP akan ditanggung oleh pemda, tidakkah cukup jelas bagi mata anda bahwa program kredit rumah tanpa DP yang disampaikan Anies Baswedan sesungguhnya tidak memiliki dasar konsep yang reliable, asal-asalan, utopis, asal warga senang, yang penting bisa menang, dan tak dapat dipertanggungjawabkan?Â
Dan sebagai akhir, kalau DP dari nabung 6 bulan, artinya DP sudah dibayar oleh warga yang mengambil kredit rumah tersebut, lalu kenapa politisi PKS, Mardani Ali Sera masih ingin mengambil uang pemda untuk DP? Apakah tidak berarti DP menjadi 2 kali? Koq tiba-tiba saya mencium bau bangkai ya?
Menanggapi artikel ini