Setelah si Sanusi (Santun Namun Korupsi) terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK, maka mencuatlah masalah pembahasan raperda reklamasi yang selama 2 tahun tidak juga dirampungkan oleh DPRD DKI. Alasannya cukup menggelikan, tidak pernah kuorum. Ibaratnya, anda bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan, setiap bulan digaji, tetapi anda tidak pernah masuk kerja selama 2 tahun. Okelah, mungkin anggota dewan memang punya keistimewaan untuk tidak bekerja namun tetap boleh minta gaji dengan segala tunjangannya.
Setelah terungkapnya suap yang diterima oleh Sanusi terkait pembahasan raperda reklamasi, kita akhirnya menjadi tau bahwa raperda tersebut sudah sejak lama diajuka oleh Pemprov DKI, tetapi hingga 2 tahun tidak ada penyelesaian.
Dugaan yang muncul adalah bahwa pembahasan tersebut butuh waktu demikian lama, karena adanya kongkalikong antara pengembang dengan oknum anggota DPRD DKI untuk dapat menggagalkan tambahan kontribusi 15% yang disyaratkan oleh Pemprov DKI. Berhubung Gubernur DKI bergeming, tidak akan menurunkan angka kontribusi tambahan tersebut, maka DPRD DKI pun harus memikirkan berbagai cara agar Ahok setuju.
Namun, apa lacur, Ahok tetap pada pendirian. Bahkan Ahok mengancam bahwa siapa yang mengubah tambahan kontribusi 15% tersebut akan dilaporkan sebagai tindakan korupsi. Tidak ada cara lain bagi DPRD DKI selain mengundur dan mengundur, dengan pertimbangan, minimal raperda tersebut selama belum disetujui sebagai perda maka jalan masih terbuka.
Kini, setelah semua sudah terbongkar, tetap pula raperda tersebut tidak dilanjutkan pembahasannya. Alasan dari pihak legislatif adalah dari segi kepantasan karena masalah tersebut masih dalam penanganan KPK.
Namun, sesungguhnya saya curiga bahwa pemberhentian pembahasan raperda reklamasi tersebut tak lebih hanyalah sebuah upaya untuk menghindari tertutupnya pintu kongkalikong, sebab dalam situasi yang sudah seperti ini, maka jika pembahasan dilanjutkan masa tidak ada keputusan lain yang akan bisa dihasilkan selain menyetujui tambahan kontribusi 15% tersebut. Sebab sudah tidak memungkinkan bagi DPRD DKI untuk kembali menyuarakan penuruan nilai kontribusi tambahan tersebut menjadi 5% lagi.
Dengan memberhentikan pembahasan, maka raperda ini berstatus quo. Tidak ada kewajiban tambahan 15%, juga tidak ada kewajiban tambahan 5%. Dan pintu kongkalikong pun tidak tertutup. Dikemudian hari jika masalah ini sudah cooled down, maka pembahasan bisa dilanjutkan dan kongkalikong pun bisa diteruskan.
Hanya saja, sebagai rakyat biasa, saya bertanya-tanya, kenapa DPRD DKI sibuk memperjuangkan kepentingan pengembang dengan meminta kontribusi tambahan diturunkan dari 15% menjadi 5%. Bukankah dengan semakin besarnya nilai kontribusi tambahan dari pengembang, maka yang diuntungkan adalah pemerintah dan warga DKI? Kenapa DPRD DKI justru tidak pro kepentingan pemerintah tapi malah sibuk membela pengembang? Ada apa???
My strange imagination.
Abin Adika Ranggala
Â