Pertama kali melihat story dari banyak teman, muncul tema dan bahasa yang sama. Sebuah video yang memperlihatkan seorang yang dikatakan sebagai Gus, yang mempunyai ciri khas memakai membawa tongkat dalam ceramahnya, melakukan perbuatan yang sangat jauh di luar nalar seseorang yang seharusnya menempati maqom  yang disebut Kyai. Mengolok-olok seorang yang penjual minuman es teh. Entah di mana nuraninya saat itu, sehingga dia dengan tertawa terbahak bahak merendahkan seorang lelaki yang berjuang mencari rupiah demi memberi makan anak istrinya.Â
Apabila mengacu dia sebagai seorang pejabat, sikap dan perbuatannya juga sudah jelas bertolak belakang dengan profil dirinya yang harusnya bisa menjadi tauladan bagi masyarakat. Entah nalar yanga bagaimana sehingga dia bisa melakukan hal tersebut. Pejabat yang yang bisa memberi pengayoman terhadap masyarakat kecil, tetapi sikapnya benar benar jauh panggang daripada api.
Sebagai seorang "Kyai" yang dipandang orang awam, seharusnya sudah tahu apa hukum dari mengolok-olok orang lain, hukum merendahkan muslim yang lain. Sebagai "Kyai" yang menurutnya pengakuannya  lebih ke NU, harusnya sudah sangat khatam dengan kisah kisah yang ada di kitab yang menjadi pegangannya. Tentang kesabaran, tentang tawadhu, tentang ilmu ilmu hati yang sekali lagi mestinya suda sangat diresapi bahkan menjadi nafas seseorang yang dianggap "Kyai".
Saya hanyalah orang awam yang hanya bisa melihat dari kacamata keilmuan yang sangat minim. Tetapi seperti apa yang sudah beredar luat di kalangan netizen menyatakan bahwa adab itu lebih utama dari ilmu. Hal yang sangat disayangkan, bahwa seseorang yang katanya sudah kelas nasional, nilai adabnya sangat minim. Kepada orang orang yang lebih tinggi dari dia, baik pejabat atau ulama mungkin saja terlihat adabnya, sangat bagus. tetapi kepada orang orang yang dari sisi ekonomi ataupun sosial, seolah dia harus sangat dihormati. Wallahohu alam bi showab.
Sebagai orang awam, saya melihat Gus M ini telah gagal menjadi seorang pejabat dan Kyai. Sebagai seorang Kyai dia gagal mengendalikan hatinya. Dulu sebelum terkenal dan bergelimang harta, terlihat konsisten memberikan wejangan kebaikan. Tetapi setelah mendapatkan ketenaran dan harta di hatinya muncul sombong, riya ataupun ujub. Bagaimana saya bisa bilang begitu? Karena setahu saya, seorang kyai yang faham akan ilmu hati, dia tidak akan merendahkan manusia lain. Dia bahkan harusnya sangat mengharagai seorang ayah yang berjuang demi menafkahi anak istrinya. Atau jangan jangan, dia tidak pernah merasakan atau mencoba merasakan posisi sebagai seorang yang harus bekerja keras seperti itu. Dalam kisah  dalam kitab kita klasih diceritakan bahwa ada seorang Alim yang di setiap kepergiannya selalu dinaungi oleh awan sehingga dia tidak kepanasan. Hingga suatu hari ada seorang pendosa yang ikut  berjalan di sebelahnya agar tidak kepanasan juga dan keberkahan bersama orang alim tersebut. Tetapi orang alim tersebut mengusir pendosa tersebut. Dalam hati merasa tidak terima ada pendosa mengikutinya. Dia merasa dirinya jauh lebih tinggi derajatnya dan takut awan yang menaunginya  akan hilang.  Bisa dibilang. ulama tersebut muncul sifat ujubnya.  Atas kuasa Allah, awan itu ternyata tidak lagi menaungi orang alim tersebut, tetapi menaungi si pendosa.
Apa hikmah yang bisa kita petik? Kita merendahkan orang lain dalam hati saja Allah sudah mencabut keistemawaan orang alim tersebut. Bagaimana yang dengan jelas, dilakukan dengan sadar dan di hadapan umum lagi?
Di berita online diberitakan juga bahwa Gus M ini akan meminta maaf langsung kepada Bapak Penjual teh tersebut. Di Video terlihat d Gus M ini terlihat diantar dan di kawal aparat dan banyak orang. Â Wallohua'alam, apakah dia benar benar minta maaf dari hati atau memang lebih ke "pencitraan".
Memang setiap manusia tempatnya khilaf dan salah. Tetapi dalam hal ini masyarakat ataupun netizen bisa menilai dari sudut pandangnya masing-masing. Masih pantaskah seorang yang dianggap "Kyai"disebut Kyai karena pelajaran adab seperti itu seharusnya sudah lulus umurn SD. Dan juga, apakah seorang pejabat setingkat menteri layak mempunya perilaku seperti itu?
Pertanyaan lainnya, apakah yakin sikap tersebut tidak akan diulangi di kesempatan lain dengan bentuk dan bahasa yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H