Abim menghilang
Ini sepenggal kisah kami di bulan Ramadhan lalu. Sebagai orang tua belum pernah saya mengalami panik yang luar biasa. Anakku yang nomor dua, Abim, hilang.
Sehari sebelum masuk bulan Ramadhan saya memboyong seluruh keluarga kembali ke Bogor dari rumah Eyang Pati. Anak-anak masih libur sekolah, jadi mereka bisa istirahat di rumah. Rumah masih berantakan. Buku-buku belum semua tertata di rak. Baju-baju masih menumpuk di sofa. Tas dan kardus masih berantakan di ruang depan dan ruang tengah. Cucian menumpuk segunung di mesin cuci.
Puasa hari pertama kami awali dengan sahur seadanya. Tidak banyak persiapan bahan makanan yang ada di kulkas. Tidak masalah. Kami semua bahagia, karena bisa mengawali puasa bersama seluruh keluarga. Alhamdulillah.
Abim bilang, “Bi, mbok beli kurma. Masak puasa tidak ada kurma. Aku pingin kurma”.
“Ya….kita beli kurma”, jawabku singkat.
“Kapan mau beli kurmanya?”, tanyanya lagi.
Puasa hari ketiga baru saya punya kesempatan untuk membeli kurma. Selesai sholat tarawih kami siap-siap untuk membeli kurma. Saya ganti baju, pakai kaos oblong dan celana training. Saya ambil dompet dan kunci motor. Saya berencana membeli kurma di daerah Empang. Tidak terlalu jauh dari rumah, cuma sekitar 2-3 km. Meskipun dekat saya tetap pakai helm, tapi kami tidak pakai jaket.
Daerah Empang merupakan daerah di mana banyak orang keturunan Arab tinggal. Jadi di sini banyak toko-toko yang menjual kurma, minyak wangi, kebutuhan haji, kitab-kitab dan kebutuhan-kebutuhan Ramadhan lainnya. Sampai di pertigaan Empang saya lihat sudah banyak toko yang tutup. Saya baru menemukan penjual kurma yang masih buka setelah dekat dengan jembatan rel kereta sebelum Mall BTM. Ada toko yang menjual minyak wangi dan di depannya ada beberapa rak berisi kurma. Saya berhenti di toko itu.
Ada beberapa macam kurma yang dijual. Ada yang harganya mahal sampai Rp. 70rb/kg, Rp. 50rb/kg, Rp. 45rb/kg, dan Rp. 35rb/kg. Kami cicipi semua kurma-kurma itu. Akhirnya saya membeli ½ kg kurma yang harganya Rp. 45rb dan ½ kg yang harganya Rp. 50rb. Pejualnya memasukkan ke dalam kantong plastik putih dan memberikannya pada Abim.
Saya naik ke motor dan memasukkan kunci ke lubang kontak. Abim menaruh kantung plastik ke kait di motor, kemudian naik ke belakang. Saya segera menghidupkan motor dan menjalankan motor. Saya jalan pelan-pelan. Sampai di samping BTM saya ajak Abim ngobrol.
“Kamu ingat tidak, Bim, dulu pernah ke BTM?”, tanya saya.
“Kita dulu kadang-kadang kan ke sini”, lanjut saya lagi.
Saya terus ngomong sampai ke depan BTM. Tapi Abim tidak menjawab sama sekali.
“Bim…Bim….??!!!.”, saya mulai curiga.
Tiba-tiba ada orang naik motor mengejar saya.
“Pak....pak!!!! Anaknya tertinggal”, katanya sambil menunjuk ke arah belakang.
Terus saya menengok ke belakang. Betapa kagetnya saya, ternyata Abim tidak ada di boncengan motor.
Saya langsung kaget dan panik. Saya langsung berhenti. Saya tengok kebelakang dan memangil-manggil Abim. Saya pikir Abim tertinggal di toko kurma. Seingat saya dia sudah naik ke motor.
Saya segera putar balik dan kembali ke toko itu lagi. Sampai di toko saya tanya:
“A’, lihat anak saya tadi tidak?”
“Lho…kan tadi sudah naik ke motor, Bapak!”, jawabnya.
“Tidak ada….”
“Waduh…”, saya raba saku saya. Celaka. Ternyata saya juga tidak membawa HP.
Saya tinggalkan nomor HP saya ke toko kurma itu. Kalau sewaktu-waktu Abim balik ke toko, saya minta pejualnya untuk menelpon saya.
Saya semakin panik. Apakah Abim terjatuh pada saat naik motor tadi? Saya balik lagi ke arah BTM, tapi kali ini dengan pelan-pelan, sambil tengok kiri-kanan. Saya baru berlajan kira-kira 200-300 m, ketika menyadari kalau Abim tidak ada.
“Abim….Abim……!!!!”, teriak saya sepanjang jalan.
Jalan-jalan sudah mulai sepi dan tidak macet seperti kalau siang hari. Mall BTM mulai sepi dan sebentar lagi tutup. Saya berhenti di depan mall BTM, motor saya parkir dan saya turun. Saya berjalan ke bawah sambil memanggil-manggil Abim.
Sampai di samping Mall BTM saya tanya ke sopir angkot yang sedang ‘ngetem’ di depan pintu keluar Mall.
“Pak, apa tadi lihat anak kecil lari-lari atau jatuh di sini?” tanya saya.
“Oh….anak kecil itu. Tadi naik mobil putih. Jalan ke arah sana”, jawabnya singkat sambil menunjuk ke arah atas.
“Bener, Pak? Bapak lihat sendiri?” tanya saya untuk meyakinkan.
Pak sopir mengulangi keterangannya lagi untuk meyakinkan saya.
Saya tambah panik dan jadi berfikiran macam-macam.
“Mobil putih seperti apa, Pak?”
“Mobil putih kecil. Masih baru”, jawabnya menjelaskan.
Saya segera balik ke motor saya. Tiba-tiba ada dua anak muda mengejar saya.
“Pak….Pak….”
“Anak Bapak tadi ikut orang naik mobil Jazz putih”, jelasnya.
“Tadi saya sudah suruh balik ke toko kurma. Katanya rumahnya di Ciomas. Lalu ada ibu-ibu yang mau mengantarnya. Katanya rumahnya juga di Ciomas”, jelas anak muda itu.
“Mobilnya jazz warna putih. Masih baru. Nomor polisinya F GBOY….ya….F GBOY….F 6801 ….”, jelasnya lagi.
Saya benar-benar semakin panik, tapi saya punya petunjuk untuk menemukan Abim.
“Terima kasih, A’ ”, sahut saya.
Saya segera kembali ke motor dan segera menyusuri jalan ke Ciomas via Jl. Djuanda dan terus ke Merdeka. Saya jalan pelan-pelan dan mengawasi setiap plat nomor yang saya lewati.
Saya mencari mobil jazz putih atau mobil-mobil kecil yang warnanya putih.
Saya lewat jalan Merdeka, tetapi tidak saya temui mobil jazz putih. Saya terus ke Gunung Batu, Pasir Kuda, dan turun ke Pintu Ledeng. Saya tetap tidak menemukan mobil Jazz putih itu. Saya menghibur diri dan berharap orang itu benar-benar mengantarkan Abim ke rumah.