Bukan omong kosongatau hisapan jempolbahwa kaum buruh memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih fenomenal. Bahkan kaum-kaum yang sering dianggap sebelah mata ini mempunyai tulisan yang lebih bernyawa dariapad seorang yang bergelar atau konon berpendidikan. Justru kaum-kaum pinggir ini lebih produktif dalam neulis.
Dimulai dengan keluh kesah biasa yang dituang dalam otak setelah lelah bekerja. Membersihkan rumah majikan, memerah susu, menumbuk tepung untuk menjadi roti atau setelah lelah mengaduk pasir. Setelah berkeluh kesah dengan otak mereka dan otak merasa jenuh, mereka mulai menulis dikertas kosong milik anak majikan dan setelah penuh satu lembar halaman mereka mengetik perlahan-lahan dibilik-bilik warnet hingga larut. Karya mereka hidup, gambaran kerasnya kehidupan yang dilandasi cinta dan kenyataan. Bahkan mendefiniskan pahit mereka menjabarkan dengan luas lugas dan apa adanya, tidak ada kesan ditutupi atau kesan di lebih-lebihkan.
Kaum buruh dengan imjainsai yang sempurna. Jadi intinya menulis milik siapa saja, bahkan kau buruh telah menerbit buku ( kumpulan cerpen atau sebuah novel ) daripada ribut mempertanyakn untuk apa dan siapa yang menulis, lebih baik kita berkarya saja karna menulis milik siapa saja.
Jogajakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H