Dalam tradisi orang perkotaan, piknik tidak pernah dilupakan diakhir pekan atau pada hari-hari libur besar. Sudah menjadi ritual yang berkepanjangan guna mensterilkan otak dari segala beban. Baik beban kerja atau aktivitas yang menguras tenaga.
Suasana kota yang terbentuk dari besi dan kaca, kesibukan sengat amatir tak tertandingi. Nilai tukar yang kilat sekali berputar. Pada intinya, sejenak berlibur atau piknik adalah hal wajib bila tidak ingin termobilisasi depresi dan serangan jantung.
Namun senyatanya ritual piknik bukan saja dimiliki orang kota. Masyarakat di pedesaan juga sedari dulu telah termakan dengan doktrin ini. Mereka yang tinggal di pesisir pantai yang indah dan asri aktif menjadikan piknik sebagai ritual. Padahal hari-harinya telah piknik.
Bukan saja di pedesaan pesisir, kampung diperbukitan juga sama. Aktifitas mendaki dengan mendatangakan produk seperti Eiger dan Consina telah mengacaukan cara berfikir mereka. Ini menandakan orang kampung gampang terhipnotis dengan gaya ala perkotaan yang sejatinya itu terasa aneh bila ditelaah kembali.
Jadinya, berbondong-bondong bisnis pariwisata kian bermunculan. Lahan asri dijadikan tempat sampah karena minimnya edukasi soal penataan ekologis. Kampung yang tadinya bersih telah berubah menjadi racung yang mematikan.
Apa faedahnya bila ini semua mengakar dalam sel tubuh masyarakat desa. Bisnis wisata lalu dipositifkan untuk membuka lapangan pekerjaan. Plan berbentuk baleho dan player online dipromosikan seenaknya. Persaingan kampung atau desa wisata dimunculkan. Lalu bila ada masalah, ramai mengeluh tak ada habisnya.
Saya tidak mau sistematis menyalahkan orang kampung, karena intervensi dinas pariwisata dan Pemerintah Daerah setempat juga meraih keuntungan dari sini. Memang tidak banyak sih. Tapi kan, untung aja yang di cari. Edukasinya tidak.
Di masyarakat pulau Ambon, dan Pulau Seram, saya menemukan problem struktural dalam melegitimasi piknik sebagai suatu kewajiban. Tak ada piknik, hidup teras sepi. Begitulah prinsip yang saya temukan. Setia hari ahad, saya yang bermukiman di pedesaan ini, atau 30 menit dari kota menyaksikan betapa anehnya ritual orang kota. Kasihan sekali mereka, ramai-ramai melewati garis batas penduduk antar desa untuk menghilangkan depresi tapi membuang sampah sembarangan.
Saya khawatir suasana Mall dan pusat-pusat minimarket, hanya untuk menguras isi dompet orang kota. Mengobati luka kejiawaan, hmm tidak ada. Begitu juga orang desa, rumahnya sudah dekat pantai tapi masih saja melakukan rutinitas piknik supaya terlihat gaul. Tailaso!
Beberapa kali saya dan teman-teman sedang asyik duduk dipantai Tanjung Cinta, indah sekali pantai ini. Pohon kelapa berjejeran rapi, batu karang nancap menjulang. Ombak berdesir di telinga, angin sepoy-sepoy. Tapi ada ungkapan salah satu teman yang bikin saya terlihat sinis, katanya;
" Woy, kita pergi piknik yuk."