Sebagai bagian dari garda terdepan pembangunan bangsa, Pemuda seharusnya mampu menjadi bagian dari struktur tatanan ruang hidup untuk melestarikan dan menjaga basis produksi lokal agar tidak dirampas oleh namanya setan oligarki. Indonesia merupakan negara agraris yang didalamnya terdapat sumber-sumber kehidupan masyarakat, semisal tanah, air, kebudayaan, hutan dan makanan. Apabila sumber-sumber kehidupan ini telah diserap oleh kelompok pemodal maka sudah saatnya pemuda harus berdiri di garis terdepan.
Kecenderungan praktik perampasan ruang hidup yang berlebihan, sangat menyengsarakan ekspresi manusia untuk bertahan hidup. Agenda pemuda tidak serta merta berbaur dalam urusan politik pragmatis, namun pemuda bagaimana mampu menciptakan etos kerja dilingkungan sosial dengan basis peragaan mengakomodir sumber-sumber kehidupan. Ini yang sangat jarang kita temukan pasca letupan reformasi terjadi.
Produksi oportunis yang berlebihan membuat pemuda lupa akan fungsi serta perannya. Padahal basis produksi lahan mampu menyuburkan seluruh umat manusia, dimana tidak ada lagi pembagian kelas sosial. Pemuda harus andil untuk menutupi lubang-lubang kehajatah perusakan alam.Â
Pada prakteknya dilain sisi, para politisi dengan keras menghebuskan alat-alat berat datang ke kampung untuk menggusur dan merampok barang yang bukan miliknya. Peraturan Daerah mengijinkan hal tersebut atas persetujuan pemerintahan pusat.
Inilah bobrok pembangunan kebangsaan yang telah lama dinantikan, bila sumpah pemuda mengumandangkan ikrar untuk menyatukan bangsa, bahasa, dan tanah air dengan segala penderitaan diatas tumpukan darah.Â
Lantas, bagaimana pemuda hari ini menjaga ruang hidup, setelah praktik pertambangan yang berlebihan yang mengakibatkan tergusurnya hutan, perkampungan dan nilai kebudayaan masyarakat? Pertanyaan ini jelas sangat sederhana.Â
Oleh karenanya, perspektif pemerintahan adalah membangun tanpa memikirkan hal-hal yang disebutkan diatas. Kiranya, pemuda harus membuat garis batas antara praktik kejahatan lingkungan dan nilai sosial kebudayaan masyarakat.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan seperti dilansir mongabay.co.id, selama ini terlah terjadi ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya Indonesia mengalami kondisi darurat ekologis.Â
Dalam catatan Walhi, sekitar 159,178,237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30,65% wilayah Indonesia ( darat dan laut ). Sebagai gambaran, luas daratan Indonesia sekitar 191,944.000 hektar dan luas laut mencapai 327.381.000 hektar.
Walhi juga mencatat, ada 302 konflik lingkungan hidup dan agraria terjadi sepanjang 2017, serta 163 orang dikriminalisasi. Data ini berjumlah dari 13 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Bahwa reduksi penyelesaian konflik, deregulasi peraturan percepatan pembangunan infrastruktur, dan Pepres penangan dampak sosial masih refresif, dan juga sangat mengakomodir kepentingan investasi.
Jelas ini sangat bersebrangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan pesan otentik dalam UUD 1945 dan Pancasila. Kiranya, pemuda harus memahami apa yang diamksudkan dan juga mengevaluasi berbagai kebijakan yang lahir. Karena kebijakan yang keliru akan memberikan dampak yang cukup menyiksa untuk masayarakat Indonesia.Â