Terlepas dari itu aku bisa duduk lagi ditempat duduk yang sudah agak kosong. Aku tidak memilih duduk disamping gadis wangi tersebut. Tempat duduk sebrang aku memilihnya agar bisa bertatap muka secara damai dengan si gadis walau sekali-kali.
Dalam hatiku bertanya, di Stasiun apakah nanti gadis wangi ini akan menghabiskan perjalanan menggunakan kereta yang sedang kita naiki? Ya semoga saja Bogor, sehingga aku bisa memaksimalkan rasa ini. Tidak, aku jangan kepedean. Siapa tahu dia sudah ada yang punya.
Pada penghujung stasiun Bogor, kereta terlihat sedikit melambat. Ternyata sedang menunggu pergantian jalur, kira-kira 10 menit aku menghitung waktu pergantian jalur itu. Tatapan itu tiba-tiba memandangiku. Aku terlihat malu awalnya. Pelampiasan rasa maluku sengaja aku geserkan ke arah pekerja seorang perempuan berbaju kuning yang tengah mengepel lantai kereta.
Tak lama kemudian kereta berjalan dari sejenak menunggu pergantian jalur. Tak ada rasa malu lagi, prinsipku jangan sampai rasa ingin kenal ini cuman mitos semata. Lalu kemudian aku memberanikan diri untuk mendekatkan rasa ini sebelum gadis wangi yang kutemukan turun lebih awal. Oh tidak, jangan sampai sia-siakan.
Akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya. Pertanyaan yang simple tapi terlihat kaku bagiku untuk mengucapnya.
Di Bogor tinggal daerah mana mba?
Dengan spontan dia pun menjawab: Katulampa bang, ada apa emangnya?
Semoga dia bertanya balik, pikirku. Eh ternyata tidak, kereta telah sampai. Orang-orang lekas bergegas turun meninggalkan kereta. Di juga bergegas keluar dari kereta tanpa bertanya pamrih kepadaku. Siapa namanya juga aku belum tahu.
Rasa dan tatapan pertama hancur begitu cepat di Stasiun Bogor. Aku tidak menghirup harumnya wangi farfum itu lagi. Penyelasan hanya bisa terbayang dalam pikiran, akibat gerakan yang tidak progres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H