Belakangan ini ramai sekali perbincangan populer atas kehadiran sosok perempuan milenial yang dengan gagah dan berani mengkritik Presiden Jokowi terkait pemindahan Ibu Kota baru ke Kalimantan.
Perempuan milenial itu dengan garam menampar habis-habis Jokowi saat Presiden Indonesian Lawyers Club (ILC), Karni Ilyas, memberinya kesempatan untuk berbicara dari perspektif anak Milenial.
Namun saya tidak ingin membahas lebih jauh sosok perempuan berjulukan Milenial Influencer ini atas kritik pedas yang dilontarkan terhadap Presiden Jokowi, Selasa malam kemarin.
Penekanan terhadap Sherly yang saya maksudkan disini adalah bagaimana kemudian Sherly dapat merespon Qanun Jinayah di Aceh yang terbilang ambigu dalam persfektif HAM dan Kebebasan seseorang.
Penerapan Qanun Jinayah secara eksplisit sangat membatasi ruang gerak perempuan. Juga bisa mengakibatkan perempuan sebagai korban ganda akibat pasal-pasal dalam Perda Syariah tersebut.
Seperti daerah lain di Indonesia, penduduk Aceh juga heterogen. Islam memang bukan satu-satunya agama yang dianut warga di Serambi Mekkah.
Dilansir dar hukumonline.com bahwa Data Badan Pusat Statistik Aceh menunjukkan jumlah penduduk Aceh (2010) adalah 4.494.410 jiwa.
Pemeluk agama Islam 98,80 persen, Protestan 0,84 persen, Katholik 0,16 persen, Budha 0,18 persen, dan Hindu 0,02 persen. Para penduduk non-Islam ini tersebar di seantero Aceh, bukan hanya di Banda Aceh.
Oleh karenanya, penerapan Qanun Jinayah  sangat melegitimasi penduduk Aceh yang nyatanya heteregon untuk mentaati segala peraturan yang dibuat. Dampaknya jelas menyasar terhadap warga non muslim juga.
Sebagaimana diketahui Sherly yang juga merupakan lulusan Universitas Paramadina dengan konsentrasi Hubungan Internasional ini, mempunyai daya kritisme yang luar biasa. Berbagai prestasi telah ia raih dari masa kecilnya.
Dalam akun instagram dan youtubenya banyak bicara soal politik, Pilpres, persatuan, motivasi dan sebagainya. Hanya lengah ketika mengorek Qanun Jinayah.