Pagi itu terlihat asap hitam mengotori cerahnya langit-langit kota. Orang-orang berlari berseret darah dan air mata. Bunyi senapan rakitan menakuti psikologis anak-anak di pasar ikan. Tak ada lagi kemanusiaan, hanya sisa-sisa gelimang mayat dan puing-puing bangunan.
Di balik kisah hancurnya kemanusiaan, dua bocah bernama Acang dan Obet mulai bangkit dan menebar kedamaian yang telah mereka lakukan sejak dulu. Walau sempat hilang komunikasi saat Kota Ambon dilanda kerusuhan. Insting persaudaraan sangat mengunggah batin kedua bocah itu.
Acang di Desa Batu Merah bermukim mayoritas muslim. Sedangkan Obet di Desa Soya yang mayoritas kristen. Keduanya berumpung satu atap sekolah di SMA 11 Ambon, terpisah akibat design ketidakpuasan tumbangnya Orde Baru. Kini tengah merajut kasih kembali karena perbuatan dosa besar.
"Acang e...." teriak Obet dari Jauh.
"Obet ee..." balas teriak Acang.
Pelukan bahagia terjadi. Tangis, tawa dan duka mereka panjatkan dalam hati serayak berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Doa selesai!
"Acang e, kanapa bisa begini," tanya Obet.
"Iyo, Obet e beta juga seng tau lai."
"Bukankah katong islam dan kristen dari dulu saudarah? Kok katong dua bisa bakalai sampe berdarah bagini," kata Obet dengan wajah sedih.
"Obet e, katong di Islam sana sudah teriak-teriak kafir, mar beta kurang paham kafir itu apa maksudnya. Beta dari dulu diajarkan mama deng bapa untuk satu bakata sajo dimeja makan," ucap Acang sambil merangkul Obet lagi dibahunya.
"Acang e," lanjut Obet, "beta tahu agama tidak mengejarkan seperti ini. Yang katong lakukan adalah kutukan. Ada yang merencanakan, mungkin dia irih melihat katong baku bae-bae."