Disebuah pangkalan ojek bernama Palestina, terdapat 3 orang pemuda berkulit hitam manis yang sedang asyik nonton berita disaluran TV Mainstream. Beberapa pemuda itu diantaranya; Boger, Dako dan Fredy.
Berita yang disiarkan membahas terkait bagaimana seorang kakek/tete tua di Jawa Timur dihukum 2 tahun penjara akibat menebang kayu Mangrove untuk kayu bakar. Tete tua itu divonis karena sudah melanggar UU No 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sementara masih di siaran TV yang sama namun dengan presenter berbeda. Bos perusahan yang membakar hutan di Riau bebas dengan cepat.
Dua kontradiksi ini kemudian menimbulkan responsif oleh Fredi, Dako dan Boger, yang sedang berada di depan layar TV. Ekspresi ketiga raut wajah orang ini pun terkesan aneh, sakit hati, kesal takaruang.
Semisal Fredi yang awalnya tertawa hingga kemudian ingin mematikan TV. Negara semacam apa ini? Kok bisa penebang kayu untuk kayu bakar saja dihukum 2 tahun penjara sementara yang membakar hutan dibebaskan," kata Fredi dengan kesalnya sambil mengutak atik remote Tv.
Jangan heran Fred, sambung Boger, pejabat yang punya uang banyak memang seperti itu faktanya. Penjara ibarat rumah kedua yang tak kalah fasilitas. Mereka didalam penjara selain bertebar serba kemewahan, juga punya orang dalam. Jadi wajar kalau bebas cepat," ungkap Boger.
"Katanya negara hukum, tailaso," sambut Dako dengan lugasnya.
Maka dari itu katong sebagai rakyat harus pilih pemimpin yang berani menegakan hukum sebagai panglima. Berani membela kebenaran dan keadilan.
Kebenaran dan keadilan tailaso," teriak Fredi.
Fredi, Boger, dan Dako terbilang pemuda yang kritis. Berprofesi sebagai tukang ojek pangkalan bukan menjadi hambatan dalam memahami penerapan hukum yang berkeadilan sosial.
Negara kita ini sedari dulu begini-begini saja. Hukum milik orang bermodal, anjengnya pemerintah. Akibatnya rakyat kecil banyak menjadi korban hukum," tandas Dako lagi.