Sebagai salah satu provinsi yang paling luas lautnya, Maluku tentu banyak memberikan kontribusi sistemik hasil lautnya kepada bangsa dan negara Indonesia. Ini sudah tidak asing dan asam lagi membicarakan tentang asal daerah Pahlawan Nasional, Â Kapitan Pattimura dan Cristina M Tiahahu itu. Sejarah mengukir, harumnya rempah-rempah di Maluku mendatangkan bala pasukan kolonial Eropa dan terjadilah asal muasal sejarah kapitalisme di Indonesia.
Provinsi dengan penduduk 1,708 juta ini sangat kaya akan hasil lautnya, dibuktikan lewat kontribusi perikanan. Tercatat, Maluku kebagian tiga wilayah besar dalam Wilayah Pengelolah Perikanan (WPP) antara lain;WPP 715 meliputi laut Seram Bagian Timur (SBT) ,WPP 714 laut Banda , dan laut Arafuru dengan WPP 718. Total hasil laut dari tiga WPP ini mencapai 3,05 juta ton pertahun. Maing-masing menghasilkan ratusan ribu ton pertahun dan menjadikan Maluku ada di urutan teratas sebagai penghasil ikan. Terbilang jumlah yang cukup besar namun tak sebanding dengan pengelolaan dampak yang dirasa warga Maluku.
Ternyata miris juga, membanggakan Maluku kaya raya dari perspektif kelautan dan perikanan, sementara tatanan kehidupan implementasi di darat sangat kacau balau. Terlihat jelas bahwa jumlah penduduk miskin di Maluku terus berkurang. Meski begitu, Maluku masih berada di urutan ketiga provinsi termiskin di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik(BPS) Provinsi Maluku, Maret 2019 menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Maluku sebanyak 317,69 ribu jiwa atau berkurang 0.15 ribu jiwa dibandingkan pada bulan September 2018 sebanyak 317,84 ribu jiwa . Walau tingkat kemiskinan dan presentase penduduk miskin  menunjukan tren menurut dari waktu ke waktu.
Menjadi kontradiksi negatif, antara kontribusi hasil laut yang terbilang besar tetapi stagnan pada urutan ketiga Provinsi termiskin di Indonesia, aneh bin ajaib. Hal yang lain ialah, sektor pertambangan emas di Pulau Buru, seperti Gunung Botak, tidak memberikan dampak positif bagi tingkat kesejahteraan orang Maluku secara Total, padahal dalam setahun perputaran uang diperkirakan mencapai angka Rp 365 triliun. Saya tidak ingin bernarasi Blok Masela secara spesifik, toh kita belum tahu juga berapa janji persen yang akan di dapatkan masyarakat sekitar dan Provinsi, kemudian dampak buruknya.
Kemiskinan di darat antara lain, perampasan ruang hidup warga di pulau Seram yang akan berdampak pada krisis ekologis, pencemaran lingkungan dan hilangnya mata pencarian masyarakat adat. Sementara dari sisi tenaga kerja, banyak sekali terjadi PHK masal dan belum kelarnya pemberian upah atau pesangon oleh perusahan PT Wahana Lestari Investama(WLI) kepada para buruh. Alternatif solution terus dikeluarkan oleh pejabat publik, aktivis, jurnalis, dan masyarakat umum, alhasil perubahan tidak signifikan dan masih pada rotasi-rotasi kepentingan.
Secara kontekstual dan konseptual, kemiskinan Maluku merupakan implementasi kebijakan struktural pemeritah pusat, konon seperti itu. Legitimasi pusat atas provinsi para raja-raja ini menimbulkan pragmatisme pada sub-sub masyarakat. Sehingga lahirlah isu Otonomi Khusus( otsus ) yang bernada dering musiman tapi patut di apresiasi. Isu perlawanan atas legitimasi pusat yang lain adalah, Maluku harus merdeka, tidak seperti Republik Maluku Selatan (RMS) tapi harus merdeka. Saya banyak menemukan narasi demikian dalam dunia maya. Bahkan pembangunan Jembatan Merah Putih (JMP) tidak mencerminkan kesejateraan, hanya orang-orang apatis yang mengiyakan.
Sementara ribut posisi mentri di Kabinet Jokowi-Amin harus ada delegasi putra/putri Maluku, tetapi belum mampu menawarkan konsep gilau gemilang ke depan. Mis komunikasi antara Gubenur Murad dan Barnabas Orno sebagai Wakil Gubenur, masih terjadi dalam memahami dan mengambil keputusan. Rentetan kemiskinan di darat yang saya uraikan diatas perlu disiasati untuk menjadi kerangka acuan menata kehidupan birokrasi dan kebijakan publik kedepan. Dan bukan menata Lapangan Merdeka (Lapmer) menjadi lapangan batu bata.
Sedikit dari banyak yang saya jelaskan, barangkali belum detail memaparkan problematik Maluku. Keterbukaan informasi publik perlu menjadi sandaran kehidupan institusi dan lembaga pemerintah di Maluku untuk mengupayakan berjalannya proses konsolidasi demokrasi. Kita semua pasti tidak ingin  Maluku terus-terusan di cap sebagai provinsi termiskin ketiga di indonesia. Kaya laut dan di darat harus diselaraskan, peran semua elemen masyarakat harus dilibatkan demi mengembalikan citra dan kejayaan Bangsa Maluku. Penghormatan terhadap hak asasi manusia harus populer dikalangan politisi, dan pemerintahan sehingga terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Tuhan yang Maha Esa.    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H