Momen lebaran adalah momen fitrah bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar tentu memaksimalkan lebaran yang fitri dengan ajaran agama islam untuk saling memaafkan. Selain itu, saling memaafkan merupakan kebesaran jiwa manusia. Sebagai insan ahlakulqorimah, manusia dituntut untuk memperbaiki segala keburukan dunia dengan memberi maaf.
Kelembutan kasih sayang, bagi saya, terletak pada ucapan-ucapan kesejukan, membahagiakan dan merangkul aspek-aspek keburukan menjadi satu grammer, yakni; cinta damai. Hal ini tak bisa dimunafikan seberapa kuat pengaruh cinta itu pada setiap masa. kekuatan cinta dan memaafkan adalah senjata yang diajarkan nabi dan rasul.
Mirisnya, memaafkan bukanlah lagi menjadi bagian rutinitas setiap umat manusia. Manusia kini terpecah dengan dalil kepentingan. Kata maaf menjadi kaku, sehingga timbul pengkotak-kotakan antar warga masyarakat. Saat memaafkan menjadi lemah, peluang besar  arus Hate Speech atau Ujaran Kebencian untuk mendominasi nalar kritis individu-individu. Manusia dibisukan alam bawah sadarnya, agresif alamiah diaktifkan. Sehingga proses berjalannya waktu hanya dengan ucapan-ucapan kebencian.
Fase ini adalah gejala terburuk negara bangsa Pancasila. Gamblangnya dikotomi-dikotomi persuasif dan prefentif merupakan basis gerakan yang menyegel mayoritas warga negara. Hanya kelompok minoritaslah yang terus berselancar dengan argumentasi kebencian dan kekerasan. Minoritas yang dimaksud adalah mereka yang anti terhadap ideologi bangsa, dan berkemauan untuk menggantikannya.
Dilansir dari (detik.com)Menko Polhukam Wiranto, memaparkan kasus serangan cyber yang terjadi di Indonesia sepanjang 2018 ada 324 kasus ujaran kebencian yang ditangani. Dia mengakatan sepanjang tahun itu hanya baru 152 kasus  sudah ditangani. Mantan Jendral ini juga, menegaskan bahwa akan menindak tegas pelaku penyebar ujaran kebencian dengan tak tanggun-tanggun.
Senyata, gemparang ujaran kebencian terus gagal dengan kesaktian warga negara dalam menjungjun tinggi ideologi Pancasila. Kegagalan bukan berarti mati namun potensi untuk tumbuh dan menyebar menjadi besar tetap akan ada. bahwa kemudian proses penyelesaian baru 152 kasus dan masih ratusan kasus lagi yang belum di selesaikan. pertanyaannya, lalu siapakah yang akan jadi pahlawan bagi pembarhangusan ujaran kebencian? apakah pemerintah? ataukah masyarakat?
Sederhananya, bila kesaktian Ideologi tak dirawat, kecelakaan dini pasti terjadi dalam memahami kerukunan dan keberagaman. oleh sebabnya, menjaga hati dan pikiran dari isu-isu kebencian adalah upaya perlawanan dini. Meski sudah melewati fase kubu-kubuan pada Pilpres yang banyak tragisnya, sekarang kita semua dituntut untuk merangkul dan bersama kembali dalam bingkai kebhinekaan. Bagaimanapun, eksistensi kehidupan kerukunan warga negara adalah tanggunjawab bersama.
Kiranya juga memaafkan di bulan yang fitri ini tidak menjadi bahan seremonial semata. Ikatan persaudaran kemanusiaan semoga selalu tumbuh untuk mengalahkan yang namanya ujaran kebencian. Saya kira itu penting, jangan sampai kita dibelah lagi menjadi kubu-kubu yang saling menghasut dan membenci.