Setelah maraknya kasus kekerasan seksual di tingkat Perguruan Tinggi/kampus. Banyak pihak menilai Perguruan tinggi gagal dalam melawan tindak kekerasan seksual.
Sebagai institusi pendidikan seharusnya edukasi akan tindak kekerasan seksual harus di tanamkan semasif dan setruktural mungkin pada publik. Sehingga kecenderungan dalam mengakomodir potensi tinggkat kekerasan seksual bisa diwaspadai.
Selama ini angka kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan kampus. Tak lain pelakunya banyak dari pihak akademik (dosen) dan korbanya adalah mahasiswi.
Data yang saya peroleh dari berbagai pantauan media menerangkan, kampus-kampus besar seperti Univ Gaja Mada (UGM), Univ Diponegoro (Undip, dan Univ Islam Negeri Sunan Gunung Djati, merupakan kampus-kampus yang diberitakan terjadi tindak kekerasan seksual.
Membahas ini bagi saya ngeri dan teringat kasus; Agni Mahasiswi UGM, Â Zahra Mahasiswi UIN SGD, dan Dias Mahasiswi UNDIP. Ketiganya menjadi korban kekerasan seksual di lingkup kampus masing-masing.Â
Nyatanya dosen-dosen mesum masih banyak berkeliaran dan memamfaatkan mahasiswi-nya sebagai pelampiasan nafsu birahi sesaat. Ini berbaya bagi tenaga pendidik seperti dosen. Jangan dibiarkan.
Dampak Bagi Korban
Banyak orang menganggap bila pelaku utama sudah di proses hukum atau ada kebijakan keras yang dikeluarkan pihak kampus, masalahnya langsung kelar. Proses penutupan aib pun dilakukan sesegera mungkin.
Pola pikir ini jujur sangat parsial dan menyudutkan satu pihak. Dalam hal ini pelaku kekerasan menjadi konsentrasi pemulihan, sedangkan korban tidak di abaikan. Padahal dampak dari kekerasan seksual yang paling merasakan sakitnya adalah korban.
Pertama, korban menjadi terasing dari dunia perkawanan. Stigma akan muncul sehingga sikap komunalitas hilang menjadi defresifitas individu bagi korban. Kedua, defresi batin dan jiwa berinfek pada potensi kegilaan korban bila tidak cepat dipulihkan. Ketiga, akses publik menjadi terhambat dan hidup dalam lorong streotipe.
Evaluatif dan Solutif
Tentu menjadi pukulan keras terhadap Institusi Pendidikan (perguruan tinggi) dan pemerintah sebagai penyelenggara jaminan keamanan dan keselamatan publik.
Bagaimanapun tindak kekerasan seksual adalah bentuk kekejaman terhadap peradaban dan perempuan. Untuk merubah itu grammer mata kuliah gender harus menjadi materi wajib dalam perkuliahan. Ini harus dibuat oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan sebagai acuan dari banyaknya kasus.
Pihak kampus dan para dosen harus menjadikan materi gender dan pendidikan seksual sebagai bahan dasar pembelajaran perkuliahan. Oleh sebabnya materi pendidikan seksual adalah materi wajib bagi mahasiswa tingkat pertama sampai terakhir.
Pencalonan dosen tetap maupun tenaga bantu harus membuat perjanjian tertulis berupa materai 6000 dengan pihak kampus. Ini akan sedap bila di kuatin dengan regulasi-regulasi yang ada.
Mahasiswa sebagai social control harus peka dalam memahami konteks dan bereaksi sedini mungkin. Mahasiswa harus kritis untuk memahami isu kekerasan seksual. Jangan sampai mahasiswa berwatak sama seperti dosen. Itu bahaya.
Narasi pendefinisian dalam memahami kasus kekerasan seksual jangan sampai bias sehingga meremehkan potensinya. Kegagapan dalam melirik isu ini akan berimplikasi pada ketidakadilan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H