Filsafat politik pada dasarnya berurusan dengan pertanyaan tentang kekuasaan: siapa yang berhak memegang kekuasaan, bagaimana kekuasaan itu seharusnya digunakan, dan bagaimana kekuasaan dapat didistribusikan secara adil dalam masyarakat. Di sisi lain, feminisme berfokus pada pengakuan dan pembebasan perempuan dari dominasi struktural dan budaya yang menindas. Walaupun keduanya memiliki perhatian yang berbeda, keduanya memiliki titik temu dalam isu kekuasaan—terutama kekuasaan yang didasarkan pada gender.
Feminisme dalam filsafat politik mengajukan kritik terhadap gagasan-gagasan yang selama ini diterima sebagai norma dalam masyarakat patriarkal. Pemikiran feminis, terutama dalam tradisi modern, berargumen bahwa filsafat politik klasik sering kali mengabaikan perempuan sebagai subjek politik yang setara. Dalam banyak teks-teks filsafat politik, terutama dari pemikir-pemikir besar seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan bahkan Immanuel Kant, perempuan sering diposisikan di luar ruang politik atau dianggap sebagai makhluk yang tidak memiliki kapasitas rasional yang setara dengan laki-laki. Hal ini tentu berhubungan erat dengan pembagian kekuasaan yang bias gender dalam masyarakat.
Patriarki, dalam konteks ini, merujuk pada sistem sosial dan politik yang mengutamakan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam pandangan feminis, patriarki bukan hanya sekedar struktur sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan, tetapi juga sebuah sistem kekuasaan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban diperlakukan dalam masyarakat. Feminisme mengungkap bahwa dalam struktur patriarkal, kekuasaan lebih banyak terpusat pada laki-laki, dan perempuan sering kali terpinggirkan baik dalam politik, ekonomi, maupun aspek kehidupan lainnya.
Michel Foucault, seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan teori kekuasaannya, memberikan pandangan yang relevan dalam hal ini. Foucault berargumen bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang terpusat pada satu individu atau kelompok, tetapi tersebar di seluruh tubuh masyarakat. Kekuasaan beroperasi melalui norma-norma, institusi, dan praktik-praktik yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks patriarki, kekuasaan ini beroperasi melalui mekanisme sosial yang mendefinisikan perempuan sebagai pihak yang lemah, tergantung, dan tidak memiliki kontrol atas tubuh dan hidup mereka sendiri.
Feminisme, dengan demikian, berfungsi sebagai kritik terhadap sistem kekuasaan ini, dengan menggugat berbagai norma dan institusi yang memperkuat dominasi laki-laki dalam politik, hukum, keluarga, dan ekonomi. Misalnya, feminisme mengkritik bagaimana hukum dan kebijakan negara sering kali gagal untuk melindungi perempuan dari kekerasan domestik, pelecehan seksual, atau ketidakadilan dalam pekerjaan. Lebih jauh lagi, feminisme juga mempersoalkan distribusi kekuasaan dalam institusi negara, yang cenderung mengabaikan suara perempuan dalam pengambilan keputusan politik.
Feminisme tidak monolitik; ada berbagai macam aliran yang masing-masing menawarkan perspektif yang berbeda mengenai bagaimana kekuasaan harus dibentuk dan didistribusikan. Feminisme liberal, misalnya, lebih berfokus pada pencapaian kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan dalam kerangka negara liberal-demokratik. Feminisme ini berargumen bahwa perempuan harus memiliki akses yang setara terhadap pendidikan, pekerjaan, dan hak politik. Dalam hal ini, feminisme liberal berupaya untuk memperbaiki ketidakadilan struktural dalam masyarakat melalui reformasi hukum dan kebijakan.
Namun, feminisme radikal menawarkan pandangan yang lebih mendalam dan lebih kritis terhadap struktur kekuasaan yang ada. Feminisme radikal tidak hanya memperjuangkan kesetaraan hak bagi perempuan, tetapi juga menantang dasar-dasar patriarki yang ada dalam struktur politik dan sosial. Bagi feminis radikal, perbaikan dalam sistem hukum dan politik yang ada mungkin tidak cukup karena mereka melihat patriarki sebagai sebuah sistem yang lebih mendalam dan terstruktur dalam semua aspek kehidupan—dari keluarga hingga negara. Feminisme radikal berargumen bahwa untuk mencapai kesetaraan gender, kita perlu merombak total struktur kekuasaan yang ada, yang selama ini didominasi oleh laki-laki.
Di sisi lain, feminisme marxis menyoroti hubungan antara kapitalisme dan patriarki, menyatakan bahwa perempuan menjadi korban ganda dari eksploitasi kelas dan gender. Dalam pandangan ini, patriarki tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi kapitalis, di mana perempuan, terutama perempuan kelas bawah, sering kali dieksploitasi dalam dunia kerja, baik di rumah maupun di luar rumah. Oleh karena itu, perubahan sosial yang lebih luas, termasuk revolusi ekonomi dan sosial, dianggap sebagai langkah penting untuk membongkar ketidaksetaraan gender.
Salah satu kontribusi besar dari feminisme dalam filsafat politik adalah penekanannya pada inklusivitas dan representasi. Dalam banyak sistem demokrasi di seluruh dunia, perempuan masih terpinggirkan dalam ruang-ruang kekuasaan. Bahkan dalam negara-negara yang mengklaim diri sebagai demokratis, perempuan masih sering kali dihadapkan pada hambatan besar untuk mendapatkan akses setara ke posisi-posisi politik dan pengambilan keputusan. Feminisme berargumen bahwa demokrasi yang sejati tidak hanya mengandalkan prinsip mayoritarianisme, tetapi harus mencakup partisipasi aktif dari semua kelompok, termasuk perempuan dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Feminisme mengajukan bahwa perubahan kebijakan politik yang mendukung kesetaraan gender—seperti kebijakan afirmatif, peraturan yang melawan diskriminasi berbasis gender, dan perundang-undangan yang melindungi hak-hak perempuan—harus menjadi bagian integral dari sistem demokrasi. Feminisme juga mendorong untuk mendefinisikan ulang konsep kebebasan dalam politik. Kebebasan bukan hanya berarti kebebasan individu untuk membuat pilihan dalam ruang publik, tetapi juga kebebasan dari penindasan struktural yang menghambat perempuan untuk menjalani hidup mereka dengan otonomi penuh.
Feminisme dan filsafat politik menawarkan wawasan yang saling melengkapi dalam usaha untuk memahami dan merombak struktur kekuasaan dalam masyarakat. Feminisme, melalui kritik terhadap patriarki, menantang pandangan dominan tentang bagaimana kekuasaan seharusnya didistribusikan dan digunakan. Filsafat politik memberikan kerangka teori untuk memikirkan kembali tentang keadilan, kesetaraan, dan kebebasan dalam konteks struktur sosial yang lebih luas. Dengan menelusuri hubungan antara gender dan kekuasaan, feminisme bukan hanya mengupayakan kesetaraan bagi perempuan, tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam memahami dinamika kekuasaan yang lebih adil dan inklusif dalam masyarakat. Hanya melalui reformasi yang mendalam dan komprehensif terhadap struktur kekuasaan yang ada, kita dapat mencapai sebuah dunia yang lebih setara dan lebih adil untuk semua, tanpa terkecuali berdasarkan gender.