Mohon tunggu...
Abiel Marfuzan
Abiel Marfuzan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hobi menggambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Media Sosial dalam Penyebaran Ideologi transnasional Radikal dan Rekrutmen Teroris

11 Juni 2024   05:46 Diperbarui: 11 Juni 2024   05:59 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ideologi transnasional merupakan ideologi atau pemahaman yang bersifat lintas negara
yang dapat melampaui batas negara maupun etnis, ideologi tersebut tidak hanya menyebarkan propaganda saja akan tetapi juga dapat menyebarkan pemahaman yang berpeluang untuk mempengaruhi suatu kebijakan politis di suatu negara. Radikalisme dan terorisme memiliki hubungan yang sangat penting. Radikalisme merupakan awal mula lahirnya terorisme, yang memiliki pengertian dimana radikalisme adalah sikap yang ingin membawa suatu perubahan radikal maupun revolusioner melalui gerakan radikal terhadap suatu nilai yang ada dengan menggunakan kekerasan serta tindakan ekstrim. Dalam bahasa radikalisme berasal dari kata Radix yang memiliki arti akar pohon atau cara berpikir mendasar, yang kemudian
melahirkan suatu prinsip.
Media sosial yang digunakan sebagai platform komunikasi yang populer di era globalisasi saat ini ternyata berpengaruh terhadap radikalisme, dikarenakan adanya kemudahan berbagi informasi sehingga hal ini di manfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dalam
menyebarkan pemahamannya secara lintas negara. Semakin banyak unggahan konten radikal di media sosial saat ini, menjadikan tantangan tersendiri bagi suatu negara dalam menciptakan persatuan dan kedamaian bagi masyarakat. Radikalisme saat ini tengah
menjadi topik perbincangan yang krusial di masa sekarang. Penyebaran konten dan aktifitas tentang radikal di media social dapat meliputi berbagai situs seperti Tik -- tok, Twitter, facebook dan Instagram.
Adanya perkembangan media sosial yang semakin pesat membawa dampak positif dan
negatif dalam menghadapi radikalisme yang mudah tersebar di media sosial. Media sosial
sendiri sebenarnya bisa memiliki dampak yang positif apabila digunakan sebagai ranah berbagi ilmu keagamaan dan opini mengenai kontra terhadap segala bentuk radikalisme. Dengan menggunakan media sosial yang bijak, kita dapat berpartisipasi dalam gerakan

untuk mencegah aktivitas radikal dengan cara membuat konten atau video yang positif lalu di
share ke media. Pemerintah juga harus memprioritaskan edukasi publik tentang bahaya terorisme atau radikalisasi dan edukasi publik di media sosial, agar masyarakat tidak mudah terpapar informasi yang menyesatkan. Dampak negatif dari pengaruh media sosial adalah dengan adanya kelompok radikal dan teroris yang melakukan berbagai aktivitas
radikalisme di Internet maupun media sosial. Aktifitas - aktifitas kelompok tersebut adalah
dengan cara menyebarkan radikalisme Islam dengan cara seperti, rekrutmen,
pendidikan,pemberian bantuan baik secara materil maupun teknis. Sehingga banyak kasus
mengenai orang-orang yang berubah menjadi radikal hingga kemudian melakukan tindakan
kekerasan atau kejahatan bahkan menjadi teroris. Persoalan ini akibat dari membaca postingan radikal dan adanya kajian - kajian jihad yang rawan terhadap penyebaran paham radikal sehingga masyarakat menjadi terpengaruh. Informasi negatif ini dapat memicu kekacauan, kerusuhan, bahkan mengancam kesatuan bangsa, terutama melalui radikalisme. Masyarakat yang telah terpapar radikalisme cenderung menolak pandangan berbeda dan bersikap keras terhadap orang yang memiliki
pandangan berbeda. Radikalisme mudah menyusup terutama dalam agama Islam di Indonesia karena berbagai faktor, salah satunya adalah fanatisme agama yang berlebihan dan rendahnya
tingkat literasi masyarakat. Media sosial saat ini telah berkembang menjadi sarana komunikasi yang efektif. Dalam konteks ini, media sosial menjadi ruang yang efektif bagi kelompok teroris untuk menyebarkan ideologi radikal mereka. Strategi yang mereka gunakan juga sangat terorganisir sehingga dapat terhubung satu sama lain secara transnasional. Bahkan ketika situs kelompok radikal telah diblokir oleh pemerintah, mereka dengan cepat membuat akun baru untuk menyebarkan ideologinya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam menangani kelompok radikal.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah Indonesia segera menyusun strategi unggulan
untuk melawan kelompok radikal atau teroris, baik melalui program kreatif dan kolaboratif
maupun kontra narasi terhadap kelompok radikal. Penyebaran ideologi radikal secara
transnasional melalui media sosial harus segera ditangani oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah terbentuknya kelompok baru yang berorientasi pada radikalisme dan terorisme.


Penyebaran Ideologi Transnasional Radikal di Indonesia Melalui Media Sosial 

Tantangan besar yang tengah di hadapi oleh dunia pada saat ini adalah ideologi
transnasional radikal yang dapat mempengaruhi dan merusak geopolitik global. Hal ini disebabkan oleh kemampuan semua kalangan untuk mengakses informasi tanpa batasan waktu dan lokasi, termasuk di Indonesia. Ideologi transnasional radikal memiliki lima ciri utama. Pertama, bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara. Kedua, memiliki tujuan ideologis dengan sikap ekstrem atau radikal terhadap ideologi nasional. Ketiga, menggunakan
segala cara, termasuk penyebaran konten ilegal. Keempat, menggunakan narasi agama untuk merekrut anggota. Kelima, selalu menciptakan narasi intoleransi. Penyebaran ideologi transnasional radikal seperti ISIS melalui media sosial sejak tahun 2011 telah menarik simpati global. Ancaman ini terbukti melalui tindakan kekerasan seperti
terorisme atau upaya mengubah kedaulatan Pancasila dan UUD 1945.
Kelompok Islam radikal transnasional di Indonesia termasuk Laskar Jihad (LJ), Laskar
Muhajidin Indonesia (LMI), Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Islamiyah (JI). Gerakan ini diawasi ketat oleh
pemerintah Indonesia, termasuk pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) karena keterlibatannya
dalam berbagai kasus terorisme. Meskipun sudah dibubarkan,
kemajuan teknologi memungkinkan propaganda transnasional radikal tetap menyebar. Media sosial menjadi ancaman serius karena digunakan sebagai alat propaganda. Ideologi transnasional radikal semakin mudah menyebar ke semua kalangan
masyarakat. Dengan adanya koneksi super kencang berbasis 5G, interaksi global menjadi lebih mudah dan cepat. Kemudahan ini dimanfaatkan oleh kelompok penyebar ideologi transnasional radikal untuk merambah semua lapisan masyarakat Indonesia, tanpa memandang
usia, tempat, dan waktu. Oleh karena itu, Presiden Indonesia Joko Widodo menyebut
pendalaman nilai-nilai Pancasila sebagai cara menghadapi ideologi transnasional radikal yang dapat memecah belah bangsa Indonesia.
Peran Media Sosial dalam Rekrutmen Terorisme di Indonesia Media sosial juga menjadi alat utama dalam proses rekrutmen teroris. Para perekrut teroris menggunakan platform-platform ini untuk mengidentifikasi, menghubungi, dan mengajak individu untuk bergabung dengan kelompok mereka. Mereka memanfaatkan
anonimitas yang disediakan oleh media sosial untuk berkomunikasi dengan calon anggota
tanpa terdeteksi oleh pihak berwenang. Seiring dengan semakin meluasnya akses internet dan

penggunaan platform digital, kelompok teroris semakin canggih dalam memanfaatkan media
sosial untuk menyebarkan ideologi mereka dan merekrut anggota baru. Proses ini melibatkan
berbagai strategi yang dirancang untuk menarik, mengindoktrinasi, dan memobilisasi individu menuju aksi ekstrem.
Pertama, media sosial digunakan sebagai saluran utama untuk menyebarkan
propaganda dan ideologi ekstremis. Konten-konten yang diunggah sering kali berbentuk video, artikel, dan meme yang dirancang untuk menarik perhatian dan membangkitkan emosi.
Misalnya, video yang menunjukkan 'keberanian' atau 'pengorbanan' anggota kelompok teroris dapat memengaruhi individu yang merasa marah atau tidak puas dengan kondisi sosial atau politik saat ini.Rekrutmen langsung juga menjadi lebih mudah melalui media sosial. Platform seperti Facebook, Twitter, dan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram
memungkinkan teroris untuk berinteraksi langsung dengan calon rekrutan. Mereka
menggunakan pesan-pesan yang bersifat pribadi dan bersahabat untuk membangun hubungan dan memperkuat ideologi ekstremis. Proses ini sering kali melibatkan pendekatan yang halus dan terarah, di mana calon rekrutan diberi perhatian khusus dan didorong untuk bergabung dengan komunitas ekstremis.
Pembentukan komunitas online adalah strategi lain yang digunakan oleh kelompok
teroris. Melalui grup-grup tertutup dan forum diskusi khusus, individu yang memiliki
pandangan serupa dapat berkumpul dan berdiskusi tanpa khawatir akan pengawasan pihak berwenang. Komunitas ini menyediakan dukungan moral dan intelektual yang memperkuat komitmen individu terhadap ideologi ekstremis. Radikalisasi adalah proses penting yang terjadi melalui media sosial. Individu yang sebelumnya tidak terlibat dalam kegiatan ekstremis dapat secara perlahan diindoktrinasi melalui paparan konten ekstrem yang berkelanjutan. Konten ini secara bertahap mengubah pandangan mereka dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan ekstrem. Teroris juga menggunakan media sosial untuk menggalang dana. Dengan
menyamar sebagai organisasi amal atau menggunakan mata uang kripto, mereka dapat
menerima donasi dari simpatisan di seluruh dunia tanpa terdeteksi.
Komunikasi dan koordinasi operasional juga dilakukan melalui media sosial. Aplikasi yang
menawarkan enkripsi end-to-end sangat populer karena memberikan lapisan keamanan
tambahan. Ini memungkinkan kelompok teroris untuk merencanakan dan melaksanakan
operasi tanpa takut pesan mereka disadap oleh pihak berwenang.

Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk menangani masalah ini. Pemerintah dan
platform media sosial bekerja sama untuk memantau dan menutup akun-akun yang terkait
dengan terorisme. Selain itu, kampanye kontra-propaganda diluncurkan untuk melawan narasi
ekstremis dan menawarkan perspektif alternatif yang lebih damai. Kerjasama internasional
juga diperkuat untuk berbagi informasi dan strategi dalam menghadapi ancaman terorisme di
media sosial.Penggunaan media sosial dalam rekrutmen terorisme di Indonesia menunjukkan
betapa adaptifnya ancaman ini terhadap perkembangan teknologi. Untuk mengatasinya,
diperlukan upaya yang berkelanjutan dan inovatif, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun
platform media sosial itu sendiri.
Strategi Edukasi Sebagai Penguatan literasi media social
Strategi edukasi sangat penting karena radikalisasi atas nama agama sering dipicu oleh
faktor sosial, agama, dan psikologis yang melemahkan pemahaman tentang pentingnya
persatuan dalam keberagaman. Upaya mengatasi radikalisasi dan intoleransi
yang mendukung radikalisme harus melibatkan masyarakat dalam memperkuat strategi
edukasi. Departemen Komunikasi dan Informasi bersama relawan berperan menyebarkan
konten positif dan narasi damai melalui media sosial, serta mengedukasi masyarakat tentang
bahaya radikalisasi. Namun, tantangan masih ada karena
organisasi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Salafi, Harakah Tarbiyah, dan Front
Pembela Islam (FPI) menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi radikal.
Contohnya, HTI yang ingin mengganti Pancasila dengan sistem khilafah dan ISIS yang
menentang Pancasila dengan konsep Negara Islam. Masyarakat perlu waspada terhadap
ideologi HTI dan ISIS, terutama di media sosial, karena mereka memanipulasi isu khilafah
untuk kepentingan politik mereka, yang bertentangan dengan Ideologi Pancasila. Pemerintah harus mengedukasi masyarakat tentang literasi media sosial agar mereka
lebih kritis terhadap informasi yang diterima.
Masyarakat harus jeli dalam memilih konten dan memperkuat moderatisme Islam di Indonesia,
menanamkan nasionalisme, keterbukaan, toleransi, serta melawan provokasi dan hasutan.
Selain itu, membangun jaringan komunikasi yang positif dan damai, serta menjalankan
kegiatan keagamaan dengan toleransi. Peran masyarakat sangat
penting dalam memerangi ideologi radikal, mengungkap kelompok teroris, dan mengendalikan operasi jaringan radikalisme sebagai upaya preventif untuk memutus rantai terorisme.
Radikalisasi merupakan awal dari terorisme, dan terorisme adalah kejahatan kompleks
yang tidak bisa diatasi hanya oleh aparat hukum. Keterlibatan masyarakat, terutama institusi
pendidikan, keluarga, dan lingkungan, serta peran generasi muda sangat penting untuk
mencegah radikalisasi. Kehidupan yang damai, adil, dan makmur membutuhkan partisipasi
semua lapisan masyarakat dalam melawan radikalisasi.Proses
perekrutan teroris sering dimulai dari pengaruh jaringan teroris yang meluas. Jaringan ini
mendapat dukungan simpatisan untuk perekrutan dan pendanaan kejahatan tersebut. Dukungan
simpatisan memberikan sumber daya finansial dan material bagi kegiatan teroris, yang
memperkuat paham radikalisme dan motivasi jaringan teroris. Selain itu, media berperan dalam
menyebarkan informasi terkait jaringan terorisme.
Kesimpulan
Berdasarkan penulisan tersebut, terlihat bahwa penyebaran ideologi transnasional
radikal melalui media sosial menjadi ancaman serius karena digunakan sebagai alat
propaganda. Penyebaran ideologi radikal lintas batas negara melalui media sosial harus segera
ditangani oleh pemerintah Indonesia. Kelompok-kelompok radikal menggunakan media sosial
untuk menyebarkan propaganda, melakukan rekrutmen, membentuk komunitas online, serta melakukan radikalisasi dan penggalangan dana. Mereka memanfaatkan platform seperti
Facebook, Twitter, WhatsApp, dan Telegram untuk berkomunikasi secara anonim dan
menghindari deteksi pihak berwenang. Meski begitu, upaya untuk menanggulangi penyebaran
ideologi radikal melalui media sosial telah dilakukan, termasuk pemantauan dan penutupan
akun, kampanye kontra-propaganda, serta edukasi publik tentang bahaya terorisme. Strategi
edukasi, bertujuan agar masyarakat lebih kritis terhadap informasi dan konten yang diakses
dari media sosial terkait radikalisme. Upaya mengatasi radikalisasi dan intoleransi harus
melibatkan peran masyarakat dalam penguatan edukasi literasi di media sosial, sehingga
masyarakat menjadi lebih cermat.
Pemerintah Indonesia harus terus mengembangkan strategi inovatif dan kolaboratif
untuk melawan penyebaran ideologi radikal dan rekrutmen teroris melalui media sosial. Hal
ini termasuk memperkuat literasi media sosial di masyarakat dan membangun narasi alternatif
yang positif dan damai untuk melawan narasi ekstremis. Keterlibatan aktif masyarakat dalam

upaya ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan harmonis, bebas
dari ancaman radikalisme dan terorisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun