Mencermati pemberitaan yang marak tentang nasib suku-suku pribumi Kanada - disebut "first nation", alih-alih seperti orang Indian di Amerika Serikat yang hingga kini masih saja merajut kesengsaraan, mau tak mau ingatan kita pun akan menerawang ke dalam negeri sendiri. Sekian banyak masyarakat adat seperti warga Badui, orang Dayak, dan orang Kubu atau Suku Anak Dalam, sebagai contoh, masih hidup dalam kondisi menyedihkan.
Dari kacamata rasional, mereka adalah contoh paling nyata tentang generasi hilang yang tak memiliki masa depan.
Â
Di antara ketiganya, barangkali yang paling nelangsa adalah Suku Anak Dalam. Orang Badui, dan mungkin pula suku Dayak, masih memiliki ruang gerak dan tempat untuk mereka hidup sesuai adat kebiasaan turun temurun.Â
Sementara Suku Anak Dalam, dapat dikatakan tidak. Setidaknya, menurut catatan "orang luar" pertama tentang Badui, yakni para peneliti Belanda seperti Van Hoevell (1845) atau A.A. Pennings yang menulis "De Badoewi's in Verband met enkele Oudhen in de Residentie Bantam" (TGB, 1902), atau J. Jacobs dan J.J. Meijer yang menulis "De Badoej's" ('s-Grahenhage: Martinus Nijhoff, 1891) atau Pleyte, yang menulis "Badoejsche Geesteskinderen" (TBG, 1912), suku Badoei, Badoej, Badoewi, Urang Kanekes atau Urang Rawayan, telah lama hidup sebagai petani.Â
Sementara, bahkan hingga dekade lalu, masih ada Suku Anak Dalam yang seratus persen hidup dari berburu dan meramu, perilaku yang dalam pembabakan sejarah pun menempati tahap paling dasar dari peradaban manusia.
Â
Hidup dalam peradaban primitif (maaf) itu jelas meniscayakan ruang hidup (lebensraum) yang luas, yang memungkinkan manusia dan alam berkembang natural untuk bisa bersimbiosis mutualistis satu sama lain.Â
Namun, kalau pun tata harmoni alami itu terwujud tanpa masuknya cawe-cawe "pihak luar" - katakanlah lebensraum Suku Anak Dalam itu sebuah tabung "in vitro" - kita tahu menurut teori Malthus yang dasar-dasarnya kita pelajari bersama di SMA - pun menegaskan kekacauan pada saatnya pasti akan terjadi.
Â
Hanya soal waktu kondisi apokaliptik itu pasti datang. Pasalnya kita tahu, bagaimana pun Malthus meyakini bahwa pertambahan penduduk akan mengikuti deret ukur, sementara pertambahan bahan makanan mengikuti deret hitung. Artinya, pertambahan penduduk jauh lebih cepat dari pertambahan bahan makanan, hingga kelaparan  mau tak mau musti terjadi pada suatu titik di bentang waktu.
Â
Apalagi jika kita sadar bahwa hidup manusia - dalam konteks ini kehidupan Suku Anak Dalam - tak pernah berada pada posisi "ceteris paribus". Hidup manusia penuh dengan masuknya unsur-unsur "gangguan" yang memberi dampak sangat signifikan pada perubahan yang tiba-tiba.
Â
Pada awal tahun 1970-an, manakala pemerintah membuka izin bagi investasi-investasi hak pengusahaan hutan (HPH), saat itu perusahaan-perusahaan kayu logging pun bermunculan untuk menebang dan menjual kayu-kayu gelondongan begitu saja.
Hal itu terjadi bertahun-tahun hingga pemerintah sadar dan menyetopnya pada awal tahun 1980-an.
Â
Itu sekitar setengah abad lalu ketika awal-awal kehidupan Suku Anak Dalam terusik pendatang. Kini para pendatang itu sudah tak lagi berada di pinggiran ruang hidup mereka, melainkan bergelombang mendesak, menyuruk ke jantung kehidupan dan meminggirkan masyarakat Suku Anak Dalam di tempat yang sejatinya pun memberi mereka kehidupan yang terbatas itu.
Â
Kita tak merasa kaget lagi manakala membaca berita betapa nasib Suku Anak Dalam kini sangat nestapa. Hanya manusia dengan nurani yang begitu tumpul saja yang tak terusik dengan kesengsaraan mereka. Â Â
Â
Didera sengsara berpuluh tahun lamanya wajar membuat tuntutan yang Suku Anak Dalam ajukan pun terasa penuh dengan kandungan frustrasi di dalamnya.
Dengarkan penuturan seorang Suku Anak Dalam bernama Meti yang kita baca dari berita media massa.
Â
Seolah menjadi juru bicara Meti berkata bahwa yang dituntut masyarakat Suku Anak Dalam kepada pemerintah hanyalah mengembalikan hutan adat mereka untuk kehidupan anak cucu mereka kelak di kemudian hari. Dan yang diminta untuk dikembalikan itu tentu saja saat ini bukanlah hutan belantara lebat yang pada 1970-an masih memberi sekian juta kebaikan untuk Suku Anak Dalam. Hutan adat itu kini tinggal berupa kawasan perkebunan dan permukiman warga yang dari sisi pola kehidupan masyarakat Suku Anak Dalam tentu saja sudah berkurang nilainya. Â
Â
Sebab bagi mereka seloka lama yang juga menjadi tiang tempat berpegang dalam kehidupan, yakni "Tanoh cilako tamon. Kalo saloh ambik dikembalikan, saloh makon dimuntahkan, kalo saloh pakai dilepaskan. Kalau salah ambil, kembalikanlah; kalau salah makan, muntahkanlah; kalau salah pakai, lepaskanlah...." akan tetap berlaku bagi Suku Anak Dalam sampai sekian abad ke depan.
Â
Dari penuturan mereka, berdasar sekian banyak laporan media, masyarakat Suku Anak Dalam pun tergolong manusia-manusia yang punya rasa kehormatan tinggi. Mereka bukan suku bangsa yang hanya menadah tangan menunggu pemberian. Â
Â
Pengakuan Temenggung Kecinto, salah seorang ketua kelompok Suku Anak Dalam di Kabupaten Sarolangun, Jambi, mengatakan bahwa mereka tak bisa terus-menerus hidup dari bantuan sembako dan bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan pemerintah. Selain pemberian tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan mereka dalam jangka pendek saja, bantuan itu pun tak memberikan secuil gambaran apa pun tentang masa depan anak-cucu mereka. Â
Â
"Sementara kehidupan anak cucu kami haruslah disiapkan. Jika tuntutan kami tidak dipenuhi, bagaimana anak cucu kami akan bertahan hidup karena kehidupan kami berada di hutan adat, meskipun sudah berubah wujud," ungkap Tumenggung Kecinto.
Â
Tentu saja, kita sama sekali tak bisa menutup mata pada perhatian pemerintah, lokal dan pusat, untuk masyarakat Suku Anak Dalam. Kita tahu, selama ini pun banyak bantuan yang telah, sedang, dan akan diberikan pemerintah kepada SAD. Namun persoalannya, tampaknya sudah cukup waktu bagi kita untuk mengatakan, mungkin bantuan tersebut tidak menohok persoalan hak asasi mendasar yang dihadapi dan mengepung Suku Anak Dalam.
Â
"Merumahkan" masyarakat Suku Anak Dalam, misalnya. Sepintas saja dari sejarah kita akan segera memperoleh "cermin". Lihatlah pada kebijakan yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat terhadap suku Indian di sana dengan mengurung mereka dalam reservasi-reservasi. Hasilnya tak lebih dari munculnya wilayah-wilayah ghetto yang pepak dengan kriminalitas.
Â
Mungkin dari cerita-cerita yang ditulis sastrawan Amerika Serikat berdarah Indian, Sherman Alexie, kita bisa belajar. Bahkan dengan sedikit senyum, merespons humor-humor hitam yang ia ceritakan. Sambil menyadari betapa cerita-cerita tentang kehidupan reservasi itu kini muncul nyata dalam realitas keseharian bangsa kita. Tentang keperihan nasib komunitas adat; satu etnis yang remuk digilas, bukan hanya oleh etnis lainnya (dalam hal ini kita para pendatang), namun juga oleh modernitas. Mungkin nanti akan muncul sastrawan Suku Anak Dalam laiknya Alexie, yang menuturkannya tidak dengan suara tinggi penuh kemarahan, namun tidak pula dengan sendu penuh ratapan. Hanya ironi dan humor gelap untuk menertawakan nasib yang sama sekali tak pernah berpihak.
Â
Tentu saja tidak semua cerita tentang reservasi selalu gelap dan pengap. Ada pula orang-orang Indian yang bisa menemukan mencari cara membangun komunitas dan berjaya dengan itu. Kisah sukses komunitas Indian Seminole, yang sampai memiliki jaringan usaha raksasa, termasuk Hard Rock Seminoles Hotel, misalnya. Â
Â
Bila ini zaman yang meniscayakan pikiran solutif, patut kita mengajukan usul. Bila memang kita benar-benar bangsa yang menghargai kepemilikan warganya sendiri, mengembalikan ulang tanah ulayat Suku Anak Dalam adalah yang terbaik.
Bagi perusahaan - biasanya perkebunan - yang kadung berjanji, tawarkan lahan lain yang sama sekali tak berkaitan dengan kepemilikan masyarakat adat. Mungkin di Sumatera atau pulau-pulau lain yang lebih memungkinkan.
Biarkan masyarakat Suku Anak Dalam menghutankan kembali lahan yang sudah berubah itu atau karena sudah kadung mungkin sebagian akan menjadi petani. Itu pun artinya sudah naik maqam peradaban, dari "food gathering" ke pola "food producing". Â
Â
Di sisi lain, tentu saja tidak berdiri sebagai orang yang anti-permukiman Suku Anak Dalam yang tampaknya terus diupayakan. Kabar terakhir kita baca Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah membangun lagi 23 rumah tipe 28 untuk masyarakat Suku Anak Dalam. Bagaimana pun, susah membayangkan kita mengembalikan lagi Suku Anak Dalam ke hutan-hutan tempat hidup mereka dulu, yang kini sudah compang-camping dirobek-robek perusahaan perkebunan.
Â
Tetapi cara itu sebenarnya mustahil sukses manakala kita melupakan keharusan lain: memberi mereka pengetahuan, cara, dan keterampilan baru untuk berupaya mencari penghidupan dengan cara baru. Bukan lagi dengan "food gathering" yang di zaman ini memang semakin tidak masuk akal. Bisa juga dengan memberi mereka lahan dan "memaksa" mereka bergeser menjadi seorang "food producer" alias petani-peternak.
Â
Baru bila semua itu bisa berlangsung simultan dan konsisten dijalani boleh lah kita mengklaim diri cukup bertanggung jawab terhadap ruang hidup masa depan anak-cucu Suku Anak Dalam kelak. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H