Rakyat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat beragam mulai dari segi agama, suku, budaya , dan bahasa. Hal ini merupakan suatu keuntungan namun juga menjadi sebuah masalah yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Hal ini sudah sejak dulu di perhatikan oleh para Founding Father maka terciptalah “Bhineka Tunggal Ika”, selain itu juga perubahan sila pertama dalam Pancasila pada sidang PPKI yang pertama. Hal ini merupakan suatu pencegahan yang di lakukan oleh Bapak pendiri Bangsa Indonesia agar tidak terjadi perpecahan dan menyadarkan seluruh rakyat Indonesia bahwa rakyatnya harus saling menghormati dan toleran terhadap perbedaan.
Diusianya yang menginjak 70 tahun Bangsa Indonesia harus semakin dewasa dalam menyikapi keberagaman. Namun pada kenyataannya kedewasaan itu bukan hal mudah untuk di bentuk, dalam proses yang sudah 70 tahun dewasa dalam menyikapi perbedaan masih sulit untuk di capai. Perbedaan yang masih sering diributkan dan menjadi masalahh adalah perbedaan Agama. Hal ini menjadi hal yang sangat mudah menyulut api pertengkaran saat di permasalahkan. Sayangnya hal ini lah yang banyak di gunakan oleh aktor-aktor politik untuk memperoleh kekuasaan.
Masih sulit terjangkaunya pendidikan memperparah hal ini. Sebagian warga Indonesia belum tersentuh pendidikan formal, pendidikan yang mereka terima hanya sebatas kursus, sekolah darurat, dan aktivitas pendidikan keagamaan. Tidak sedikit juga anak-anak yang putus sekolah. Sehingga masih banyak orang-orang yang mudah “termakan” oleh apa yang disampaikan oleh media, terlepas dari apakah itu benar atau salah.
Hal ini dengan mudah mencerminkan teori Laten Public Opinion. Teori ini menjelaskan bahwa setiap pendapat politik dapat memiliki potensi langsung menjadi sebuah sikap nyata dan keyakinan publik. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh petinggi-petinggi di Indonesia untuk mendapatkan kekuasaan. Ironisnya pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara ini banyak yang berkaitan dengan Agama. Sehingga dpat dengan mudah di amini oleh warganya.
Contoh kasusnya adalah pada saat Ahok di permasalahkan menistakan agama. Padahal kejadiannya sudah berlangsung lama, namun karena ada seorang yang mengangkat dan menyebarkan kejadian tersebut akhirnya menjadi masalah yang besar. Hingga akhirnya kasus tersebut banyak di manfaatkan oleh lawan politik Ahok saat pilkada. Pemanafaatan kasus ini oleh lawan politik Ahok ini menimbulkan reaksi warga yang cukup hebat , apalagi dengan mereka menggandeng petinggii –petinggi Agama yang dilecehkan dan Ormas-ormas. Masyarakat pun seolah menjadi setuju bahwa Ahok memang bersalah.
Dapat dilihat dari aksi –aksi damai yang berjilid –jilid, kebanyakan masyarakat yang turut dalam aksi tersebut berasal dari luar Jakarta. Hal ini berarti mereka mungkin belum se pintar dan se kritis para pemilih di Jakarta. Sehingga emosinya dapat dengan mudah disulut apalagi oleh orams-ormas yang seiman dengan mereka. Ajakannya juga pintar dengan dalih membela Agama.
Hal ini membuktikan bahwa teori Laten Public Opinion adalah cerminan dari masyarakat Indonesia yang masih dengan mudah terpengaruh dengan opini para petinggi agamanya. Hal ini juga membuktikan bahwa teori The Obtinate Audience yang menjelaskan bahwa pemahaman yang kuat seorang individu tidak akan mudah diubah dengan bentuk komunikais apapun. Sehingga ini lah yang terjadi pada masa aksi-aksi damai. Mereka begitu meyakini yang mereka bela dan tidak mau membukan mata terhadap kasus yang sebenarnya terjadi.
Maka itu marilah kita menjadi masyarakat yang lebih aktif. Aktif dalam memilah dan membagikan informasi yang penting sehingga dapat mengetahui kebenanrannya . Muali dari membaca web aatau berkutat dengan buku, dan mencari tau.Sehingga apa yang kita bagikan tidak dapat dengan mudah mempengaruhi pilihannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H