Mohon tunggu...
Abieza AlemMuhammad
Abieza AlemMuhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim

Senang membaca, mempelajari hal-hal baru, dan angkat beban

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekilas tentang Dialek Jawa Banten

29 Agustus 2024   23:20 Diperbarui: 29 Agustus 2024   23:25 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat yang tengah berdiskusi di Ciomas, Kabupaten Serang, Banten/dok. pri

Banten merupakan provinsi yang terletak di ujung barat pulau Jawa. Dahulu, provinsi ini merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat sebelum  mengalami pemekaran pada 4 Oktober 2000. Sebagaimana diketahui, pulau Jawa bagian barat identik dengan Sunda. Akan tetapi Banten memiliki keunikan tersendiri, yakni terdapat sebagian wilayah yang berbahasa Sunda, sebagian berbahasa Betawi, dan sebagian berbahasa Jawa yang dikenal dengan sebutan basa Jawa Serang atau disingkat Jaseng, bahasa Jawa Banten, atau dialek Banten yang berbeda dengan dialek Jawa pada umumnya. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada logat dan penggunaan huruf akhir 'a' seperti dalam kata 'apa' dan 'e' seperti dalam kata 'teman.'

Dikutip dari Kabar Banten, bahasa Jawa Banten memiliki dua variasi yakni yang berakhiran 'a' dan yang berakhiran 'e.' Daerah yang menggunakan variasi 'a' adalah Kabupaten Tangerang dan sebagian Kabupaten Serang. Contoh kata dalam basa Jawa Serang yang menggunakan variasi 'a' adalah kita yang berarti saya dan sira yang berarti kamu. Adapun daerah yang menggunakan variasi 'e' adalah Kota Cilegon, Kota Serang, dan sebagian Kabupaten Serang. Contoh kata dalam basa Jawa Serang yang menggunakan variasi 'e' adalah kite yang berarti saya dan sire yang berarti kamu.

Dikutip dari Liputan6, bahasa Jawa Banten juga memiliki persamaan dengan bahasa Jawa pada umumnya yaitu adanya tingkatan bahasa, yakni bahasa halus yang dalam bahasa Jawa Banten dikenal dengan istilah babasan dan bahasa standar. Babasan biasa digunakan dalam aktivitas-aktivitas formal atau sakral, sedangkan bahasa standar digunakan dalam percakapan sehari-hari. 

Setelah mengetahui tentang bahasa Jawa Banten, tentu kita bertanya-tanya mengenai asal-usul adanya penutur bahasa Jawa di tanah Banten yang merupakan wilayah Tatar Sunda. 

Dikutip dari berbagai sumber, awal munculnya penutur bahasa Jawa di Banten bermula ketika Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak bersekutu untuk menaklukan pesisir utara Kerajaan Sunda atau kerap dikenal sebagai Pajajaran. Namun sebelum penaklukan terjadi, penyebaran bahasa Jawa di Banten belum begitu luas. Penyebaran bahasa Jawa di Banten secara luas baru terjadi ketika berdirinya Kesultanan Banten yang dipelopori oleh Sultan Maulana Hasanuddin di abad 16. Hubungan berdirinya Kesultanan Banten dengan tersebarnya bahasa Jawa di Banten dikarenakan sang pendiri kesultanan merupakan putra dari Sunan Gunung Jati yang merupakan Sultan Cirebon. Sebagaimana diketahui, Kesultanan Cirebon berhubungan erat dengan Kesultanan Demak yang memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar, sehingga sangat memungkinkan terjadinya akulturasi dengan kebudayaan Jawa di sana. Dengan dinobatkannya Sultan Maulana Hasanuddin putra Sultan Cirebon sebagai penguasa Banten, maka tentu saja hal itu membawa pengaruh-pengaruh Cirebon untuk masuk ke wilayah Banten, tak terkecuali bahasa. Hal itulah yang menyebabkan bahasa Jawa Banten lebih mirip kepada bahasa Jawa Cirebon daripada dialek bahasa Jawa pada umumnya seperti yang dituturkan di sebagian Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. 

Pada mulanya, basa Jawa Serang atau Jaseng hanya dituturkan di lingkungan Keraton Surosowan yang merupakan kediaman para bangsawan Banten. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat setempat ikut berbicara dengan menggunakan Jaseng dan akhirnya menjadi bahasa yang dituturkan di hampir seluruh pesisir utara Banten.

Pada masa kini, bahasa Jaseng telah mengalami banyak perubahan karena akulturasi dengan bahasa Sunda dan Betawi yang juga banyak dituturkan di wilayah Banten. Namun hal tersebut bukanlah hal buruk, melainkan karunia dari Tuhan berupa kekayaan budaya dan bahasa untuk bumi Nusantara tercinta. Keaslian budaya dan bahasa memang perlu dilestarikan, namun bukan berarti menolak perubahan, apalagi bumi Nusantara yang kita tempati ini terdiri dari beragam suku-bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun