Pesatnya perkembangan media sosial membuat banyak kalangan muda makin aware  dengan isu-isu terkini. Mulai dari isu kekerasan seksual, perselingkuhan, hingga KDRT. Kini, banyak orang yang tidak melapor langsung ke pihak berwajib untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut. Banyak yang malah melapor ke netizen untuk memberikan sanksi sosial.
Hal ini menjadi berbahaya karena jadi banyak langkah yang dilupakan, contohnya memeriksa kebenaran cerita. Contohnya, ketika seseorang menceritakan tentang kasus kekerasan seksual yang dialaminya dan menyebutkan nama pelaku, orang-orang langsung menyerang pelaku tersebut. Seseorang yang disebut pelaku belum diperiksa lebih lanjut, bahkan belum memberikan pembelaan, namun sudah dijatuhkan namanya di mana-mana.
Istilah cancel culture pun menjadi terkenal di kalangan anak muda. Ketika sebuah 'laporan' tentang sebuah kasus viral di media sosial, tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu, orang-orang langsung meng-cancel pelaku. Padahal, kebenaran dari kasus tersebut belum dibuktikan, bahkan di ranah hukum.
Dengan adanya cancel culture, semua orang harus berhati-hati di kehidupannya kini karena, untuk menjatuhkan harkat dan martabat seseorang, kini hanya sesimpel spill palsu di Twitter. Salah satu contoh nyata cancel culture adalah kasus Chandra Liow. Dirinya dilaporkan di Twitter oleh mantan kekasihnya bahwa ia memperlakukan mantannya secara abusive sehingga menyebabkan trauma.
Chandra Liow ramai dihujat oleh netizen, sampai-sampai di-cancel oleh banyak orang. Chandra pun membuat sebuah video klarifikasi di channel Youtube-nya dengan bukti-bukti yang lebih kuat. Di situ, Chandra berhasil memutarbalikan fakta palsu yang dilontarkan mantan kekasihnya dan netizen berbalik membela dirinya.
Kasus Chandra menjadi bukti bahayanya cancel culture di media sosial. Jika saja Chandra gagal mendatangkan bukti yang akurat, dirinya bisa saja masih di-cancel dan menjadi susah mendapatkan pekerjaan atau kerjasama dengan client.
Banyak contoh-contoh korban cancel culture lainnya, banyak juga 'pelaku' yang gagal membuktikan ketidakbenaran ceritanya (mungkin karena ceritanya memang benar). Salah satu contohnya adalah kasus Gofar Hilman.
Beberapa waktu lalu, Gofar dilaporkan seseorang di media sosial Twitter bahwa dirinya melecehkan orang tersebut pada tahun 2018. Pelapor melampirkan bukti video dirinya sedang dirangkul oleh Gofar, namun tidak jelas apakah Gofar benar-benar menyentuh bagian vital orang tersebut. Bukti video itu disertai cerita yang sangat menyudutkan Gofar.
Gofar ramai dihujat netizen saat itu, bahkan dirinya sampai didepak dari kepemilikan perusahaan Lawless. Dirinya mengaku menjual banyak mobil untuk menggaji karyawan karena banyak brand yang menarik diri dari kerjasamanya bersama Gofar. Dirinya stress, bahkan sampai ingin bunuh diri.
Kasus Gofar berujung pada klarifikasi pelapor yang ternyata hanya halu. Dirinya tidak pernah dilecehkan oleh Gofar, hanya ada di pikirannya. Semua itu diakui oleh orang tua sang pelapor yang mengaku bahwa anaknya memang punya kelainan mental. Anaknya kerap bolak-balik ke psikiater dan perlu mengonsumsi obat secara rutin.
Klarifikasi ini masih diperdebatkan oleh netizen kebenarannya. Banyak yang berspekulasi bahwa video klarifikasi tersebut dibuat atas dasar keterpaksaan. Netizen menganggap bahwa klarifikasi tersebut palsu dan tidak dibuat dengan kemauan pribadi pelaku. Banyak yang masih skeptis dengan video klarifikasi tersebut karena Gofar tidak benar-benar menunjukkan bukti bahwa dirinya tidak melakukan hal tersebut.