Dalam dunia pendidikan modern, masalah konsentrasi siswa telah menjadi tantangan utama. Banyak siswa merasa sulit untuk fokus pada pembelajaran, terjebak dalam arus informasi yang bergerak cepat, media sosial yang memikat, dan teknologi yang tak terelakkan. Dalam konteks ini, konsep simulakra yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard menawarkan penjelasan yang relevan.
Baudrillard berpendapat bahwa dalam dunia pasca-modern, tanda-tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada realitas, tetapi menciptakan realitas baru yang disebut hiperrealitas. Pendidikan di era ini tidak luput dari pengaruh tersebut, dan sering kali menjadi medan di mana realitas dan hiperrealitas bertabrakan, menciptakan pengalaman belajar yang kehilangan makna autentiknya.
Salah satu aspek yang mencolok dalam pendidikan adalah dominasi media sosial dan distraksi digital. Media sosial menawarkan hiburan dalam bentuk hiperrealitas yang jauh lebih menarik daripada materi pelajaran di ruang kelas. Konten media sosial dirancang untuk menarik perhatian secara instan dengan efek visual yang memukau, klip singkat, dan narasi yang menyenangkan. Akibatnya, otak siswa terbiasa dengan rangsangan cepat ini, sehingga sulit untuk kembali fokus pada materi pelajaran yang memerlukan pemikiran mendalam. Selain itu, teknologi pendidikan yang berlebihan, seperti gamifikasi pembelajaran, dapat menciptakan ilusi belajar. Siswa sering kali lebih fokus pada elemen permainan dibandingkan pada substansi materi, menciptakan pengalaman yang dangkal dan kehilangan makna pendidikan sejati.
Lebih jauh, pendidikan di era hiperrealitas sering kali kehilangan maknanya karena berubah menjadi simbol belaka. Dalam banyak kasus, nilai-nilai pendidikan direduksi menjadi sertifikat, ijazah, atau ranking. Simbol-simbol ini menggantikan esensi sejati pendidikan sebagai proses pembelajaran.
Siswa lebih termotivasi untuk mendapatkan nilai atau gelar daripada memahami materi secara mendalam. Ujian standar, misalnya, menjadi representasi simbolik dari keberhasilan pendidikan, meskipun sebenarnya tidak selalu mencerminkan kualitas pembelajaran yang sesungguhnya.
Fenomena ini diperparah oleh banjir informasi di dunia digital. Siswa kini hidup di tengah arus informasi yang bergerak cepat, di mana teknologi dan media mendorong mereka untuk terus mencari rangsangan baru. Ini menghambat kemampuan mereka untuk fokus pada satu tugas dalam jangka waktu lama. Selain itu, platform digital menciptakan ilusi interaktivitas, siswa merasa aktif belajar, tetapi kenyataannya mereka sering hanya menjadi konsumen pasif dari konten yang dikontrol algoritma.
Pendidikan di era ini juga sering kali terjebak dalam hiperrealitas teknologi. Teknologi pendidikan, seperti video pembelajaran atau aplikasi daring, menciptakan pengalaman belajar yang lebih berbasis simulasi daripada interaksi manusia langsung. Misalnya, pembelajaran berbasis realitas virtual (VR) menawarkan pengalaman yang menarik, tetapi sering kali kehilangan dimensi sosial dan emosional yang penting dalam pembelajaran. Selain itu, sekolah sering kali menciptakan citra keberhasilan melalui simbol visual, seperti laporan kinerja atau foto-foto kegiatan, yang tidak selalu mencerminkan proses pembelajaran nyata yang dialami siswa.
Untuk mengatasi pengaruh negatif simulakra dalam pendidikan, langkah-langkah perlu diambil untuk mengembalikan makna autentik dalam proses pembelajaran. Pertama, sekolah perlu mengurangi ketergantungan pada teknologi yang bersifat simulatif dan menyeimbangkannya dengan pengalaman belajar dunia nyata. Misalnya, kegiatan proyek kolaboratif atau diskusi langsung dapat membantu siswa merasa lebih terhubung dengan realitas.Â
Kedua, siswa harus diajarkan kesadaran digital, kemampuan untuk memahami bagaimana teknologi dan media bekerja, serta bagaimana mereka dapat memengaruhi perhatian dan pola pikir. Ini akan membantu siswa menggunakan teknologi secara lebih bijak. Ketiga, relevansi materi pelajaran dengan kehidupan nyata harus ditingkatkan, sehingga siswa merasa bahwa pembelajaran mereka memiliki nilai praktis dan emosional, bukan hanya nilai simbolis.
Dalam dunia di mana simulakra mendominasi, pendidikan memiliki tugas penting untuk membawa siswa kembali pada realitas yang bermakna. Dengan pendekatan yang lebih kritis terhadap penggunaan teknologi dan simbol dalam pendidikan, kita dapat menciptakan pengalaman belajar yang autentik, relevan, dan penuh makna. Hanya dengan cara ini, siswa dapat kembali menemukan konsentrasi dan keterlibatan dalam proses belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H