Senin (14/10) Sore hari di Jl. Kertanegara, Jakarta, Â satu per satu orang dipanggil ke kediaman yang diketahui sebagai rumah Presiden terpilih saat itu, Prabowo Subianto. Bak artis yang berjalan diatas red carpet, masing-masing orang menyapa awak media dan berjalan gagah ke kediaman Prabowo. Bagaimana tak merasa gagah, merekalah yang dipastikan akan mengisi kabinet Prabowo-Gibran kedepannya. Ada kader partai, profesional, tokoh organisasi masyarakat, Musisi, artis, sampai ustadz. Ada yang dipanggil sebagai Menteri, Wakil Menteri, Staf khusus, dan utusan khusus Presiden.
Pemanggilan para calon menteri itu banyak membuat masyarakat kaget. Misal, sosok Prof. Nasaruddin Umar, yang tidak banyak namanya terdengar pada bursa Calon Menteri, tiba-tiba dipanggil oleh Prabowo Subianto untuk mengisi struktural kabinet. Ada lagi nama Prof. Stella Christie, nama yang asing bagi masyakarat bahkan media, ikut dipanggil ke Jl. Kertanegara. Dari peristiwa-peristiwa, satu hal yang tidak boleh'dikageti', adalah representasi tokoh yang hadir dari Muhammadiyah dan NU. Setiap zaman pada penyusunan kabinet ini, representasi dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia tak pernah absen dalam mengirimkan kader terbaiknya, Namun, pada penyusunan Kabinet Merah Putih ini, sangat menarik untuk ditelisik.
Kabinet Merah Putih; Muhammadiyah > NU?Â
Sejak Pilpres 2019, dikenal bahwa Prabowo Subianto amat dekat dengan elemen-elemen Muhammadiyah. Orang terdekat yang menjadi Jubir pada Pilpres 2019 pun, orang Muhammadiyah, Dahnil Azhar Simanjuntak. Hal ini salah satu yang membuat kedekatan yang suistanable antara Prabowo dan Muhammadiyah. Sampai di titik penyusunan komposisi Kabinet, Prabowo banyak melibatkan Muhammadiyah, dibanding NU.
Mungkin secara sederhananya, dalam hegemoni kuasa setiap rezimnya, masing-masing Kepala Rezim, dalam hal ini adalah Presiden, pasti menggunakan 'ceruk'suara Islam dalam mengawal pemerintahannya, tentu saja karena Islam masih menjadi kekuatan sebagai mayoritas agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Jika melihat pada era SBY, beliau cenderung masuk dalam lingkaran-lingkaran Islamis PKS. Juga dibuktikan dengan beberapa kader PKS yang mengisi line-up Kabinet. Pada Era Joko Widodo, beliau cenderung masuk pada kalangan Santri. Diawali dengan gebrakan Hari Santri sebagai Hari Peringatan Nasional, dan puncaknya menggandeng Kyai Maruf Amin sebagai Wakil Presidennya pada periode 2019-2024. Hal ini masif dan cukup kuat sampai menyentuh akar rumput. Tidak hanya berhenti di NU dan kalangan santri saja. Rezim ini (Joko Widodo), menggunakan Banser dan Anshor sebagai tameng pelindung kekuasaan. Dibuktikan dengan penunjukkan Gus Yaqut Cholil Qoumas yang dijadikan Menteri Agama pada tahun 2021. Dan pada Era Prabowo Subianto dengan nama Kabinet Merah Putih, beliau menggunakan banyak kader Muhammadiyah untuk mengisj pos-pos strategis dalam Kabinet. Sebut saja, Pak Abdul Muti dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, kader muda Muhammadiyah, Fajar Zia Ul Haq yang hadir sebagai Wakil Menteri Pak Abdul Muti, Dzulfika Tawalla, Ketua PP Muhammadiyah yang mengisi pos Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Dahnil Azhar sebagai  Wakil Badan Penyelenggara Haji, dan lainnya yang juga berasal dari kader Partai, misal Raja Juli Antoni (PSI). Dengan ini, secara sederhana disimpulkan, bahwa SBY hadir dengan PKS-nya, Jokowi hadir dengan NU-nya, dan Prabowo Subianto, hadri dengan Muhammadiyah-nya.
Telaah Atas Otoritas Ormas Islam
Dalam buku yang ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas dalam bukunya "What is Religious Authority", ia menyatakan bahwa salah satu yang menjadikan eksistensi Islam begitu kuat dan bisa bertahan lama, adalah persaingan antar komunitas untuk menjaga jam'ahnya. Dengan persaingan 'sehat' itu, masing-masing komunitas Islam akan berlomba-lomba menjadi yang paling terbaik bagi masyarakat dan jama'ahnya.
Dalam konteks ini, persaingan 'sehat' antara NU dan Muhammadiyah yang terus bergerak setiap zamannya, membuat dua organisasi besar ini tidak hanya dipandang sebagai 'organisasi' saja, melainkan menjadi pilar-pilar bagi peradaban di Indonesia. NU yang kental dengan kekuatan kepesantrenannya yang mengakar di setiap daerah bahkan sampai kampung-kampung, Muhammadiyah dengan modernisasi yang kental dalam pendidikan dan pelayanan kesehatanannya, menjadikan dua organisasi Islam ini sudah memberi jasa yang besar bagi bangs aini. Maka tak heran dan aneh, jika kader-kadernya pun diberdayakan dalam structural Kabinet pemerintahan. Sehingga, itu lah yang membuat NU dan Muhammadiyah memiliki 'otoritas' tersendiri dalam lingkup jama'ahnya, dan dengan 'otoritas' itu, diakui oleh perangkat negara.
Dengan otoritas yang masing-masing dimiliki oleh NU dan Muhammadiyah, lantas tidak juga dinilai bahwa otoritas tersebut jatuh dari langit. Banyak perjalanan yang cukup membutuhkan perjuangan besar hingga dititik ini. Jika mengambil contoh dari apa yang dikuti Ismail Fajrie Alatas dalam bukunya, beliau menuturkan bagaimana Habib Luthfi bin Yahya yang bekerja 24 jam non-stop untuk melayani jama'ahnya. Dengan banyak penilaian orang-orang yang mengatakan bahwa 'uang datang sendiri ke Habib', namun dengan itu juga, 'kerja-kerja' Habib tidak terikat dengan waktu, melainkan sepanjang Habib sedang tidak tidur, maka sejatinya Habib sedang bekerja. Apa yang dikerjakan oleh NU dan Muhammadiyah, dengan waktu yang tidak terikat juga, melahirkan 'otoritas' bagi para jama'ahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H