Manusia adalah entitas yang memiliki peran paling besar dalam membangun peradaban sejak zaman primitif hingga zaman pascamodern seperti yang dikenal hari ini. Dengan kemampuan yang berbeda dengan makhluk lain, manusia dengan kelebihannya dapat membuat sesuatu yang seketika terlihat tidak dapat terpikirkan oleh manusia sebelumnya.
Semisal, pesawat, smartphone, atau bahkan Wi-fi merupakan temuan yang barang kali tidak masuk akal oleh manusia zaman purba, pun juga siapa yang bisa mengira bahwa manusia di belahan barat dapat berkomunikasi dengan manusia yang berada di belahan utara semudah memejamkan mata seperti yang dapat dirasakan oleh setiap individu hari ini. Permisalan diatas adalah amsal kehebatan manusia dalam catatan sejarah peradaban alam semesta.
Jika dapat diambil titik kemajuan pesat manusia dalam membangun peradaban, tak salah jika ditarik dari era modernitas, yaitu kisaran abad ke-16. Pada abad ini, bisa dikatakan bahwa manusia telah menemukan jati dirinya sebagai ‘pemeran’ dalam membangun kemajuan bagi kehidupan sehari-harinya.
Menjadi ‘pemeran’ dalam artian, manusia dapat menghidupkan perannya untuk membangun sesuatu bagi peradabannya. Ke-pemeranan ini tidak lepas dari keberanian manusia kala itu untuk menonjolkan subjektivitasnya sebagai bagian dari entitas alam semesta.
Tidak seperti era sebelumnya, sebagian besar manusia justru menjadi budak bagi manusia yang lain dan lebih parahnya lagi menjadi budak terhadap dogma agama yang justru membuat manusia tidak mengalami kemajuan (progresivitas).
Subjektivitas yang lahir pada kala itu pada hakikatnya adalah hal yang fundamental bagi suatu kemajuan bahkan hingga era digital hari ini. Bayangkan, jika manusia sampai hari ini tidak memerankan subjektivitasnya dalam kehidupannya, barang kali manusia hari ini tidak dapat mengenal apa yang disebut internet dan media sosial. Sehingga jika ditelisik secara radikal, subjektivitaslah yang membuat peradaban mengalami kemajuan yang amat pesat.
Mengapa subjektivitas yang justru membuat peradaban maju hingga era digital hari ini? Pada hakikatnya, dengan subjektivitas inilah manusia terbawa untuk mengkritik semua hal yang tidak berkenan bagi dirinya. Salah satu contohnya doktrin dogmatis yang dibawa oleh kaum gereja sebelum era Renaissance.
Manusia kala itu hanya dapat manut dan nunduk atas kebijakan-kebijakan yang merugikan bahkan mengancam nyawa setiap individu. Akan tetapi, dengan subjektivitas yang menelurkan sifat kritik, manusia dapat terbebas oleh kekangan otoritas gereja yang mengatasnamakan agama.
Sehingga kedua hal tersebut, yaitu subjektivitas dan kritik adalah peran yang mengantarkan manusia zaman itu menjadi manusia kontemporer yang berkemajuan.
Seiring berjalannya zaman, elaborasi antara subjektivitas dan kritik menghasilkan sebuah “permata” yang disebut progresivitas. Progresivitas dalam artian ini adalah bahwa manusia sejatinya sudah dapat maju secara psikologis kendatipun manusia era ini belum menemukan teknologi canggih.
Akan tetapi keadaan yang patut diapresiasi adalah kemajuan pola pikir (mindset) manusia kala itu yang berhasil membuahkan progresivitas. Oleh karena itu, mempertahankan progresivitas manusia atas kehidupannya merupakan tonggak bagi sebuah kemajuan peradaban umat manusia.