Dalam instrumen dinamika suatu negara, pendidikan adalah aspek fundamental yang menjadi pondasi bagi kemajuan bangsa. Nasib kemajuan suatu bangsa ditentukan dengan kekokohan pendidikannya. Hal yang mudah untuk menilai kemajuan satu negara, apakah negara tersebut ‘memuliakan’ pendidikan atau tidak.
Jika iya, maka tak salah jika negara tersebut mengalami kemajuan yang pesat untuk menopang aspek lain seperti ekonomi, sosial bahkan politik. Sejarah menjadi bukti atas fenomena ini, pasca Jepang dijatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Hirohito berupaya membangun kembali bangsanya yang sudah porak-poranda tersebut dengan membangun pendidikan.
Dimulai dengan menanyakan berapa guru yang tersisa pasca kejadian tersebut, kemudian dikumpulkan oleh Sang Kaisar untuk merapihkan kembali pendidikan yang ada, bukan politik atau bahkan ekonomi. Sehingga, tak heran jika kita melihat kemajuan Jepang hari ini, salah satu penyebabnya adalah mereka menomorsatukan pendidikan dibanding aspek lain.
Dalam konteksnya di Indonesia hari ini, kita sendiri masih mempertanyakan apakah bangsa kita tercinta Indonesia sudah termasuk negara yang maju atau belum. Sehingga, jika pertanyaan tersebut masih terngiang dalam pikiran masyarakat, perlu untuk memertanyakan bagaimana pendidikan di Indonesia?
Apakah pendidikan bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi hal yang fundamen dan patut dinomorsatukan? Oleh karena itu, refleksi atas realitas tersebut penting untuk diperhatikan agar dapat membangun bangsa ini dengan batu pondasi yang kokoh.
Melihat realita pendidikan Indoensia, hal yang selalu membuat sesak dada adalah fenomena pelik guru honorer. Bayangkan, guru yang menjadi penentu kemajuan suatu bangsa hanya diberi upah pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam adagium Bahasa Arab dikenal istilah “al ikhlaasu ruuhu-l-amal” yang diartikan bahwa keikhlasan adalah ‘ruh’ suatu pekerjaan.
Meskipun memang guru sudah mengabdikan jiwa dan raga untuk murid-muridnya dengan ikhlas, akan tetapi tak elok jika guru justru disebelahmatakan dan dihiraukan kebutuhannya. Bagaimana guru tersebut akan ikhlas, jika untuk mengisi perutnya saja, perlu merengek kepada pemerintah tiap bulan agar dapur bisa terus ‘ngebul’.
Membicarakan guru honorer secara filosofis akan ‘membangunkan’ kita atas masalah pendidikan Indonesia. Frasa ‘guru honorer’ menjadikan penggerusan makna atas guru itu sendiri. Menjadi tenaga pendidik di sekolah yang bersifat tidak tetap, menjadikan ‘marwah’ guru seperti buruh. Ia dikontrak secara temporer dan digaji sesuai pekerjaan yang tidak menentu.
Fenomena ini tidak ada bedanya dengan sistem yang ditentang oleh para buruh di dunia industri. Dengan sistem kontak berjangka, pemberi kerja tidak dibebani beban jangka yang melekat pada pegawai tetap. Sehingga mereka dapat memtuskan kontrak seenaknya kapan saja. Ironisnya, sistem ini justru diaplikasikan ke ranah yang harusnya disakralkan, yaitu ranah pendidikan. Menyamakan sistem buruh dengan guru honorer merupakan banalitas dalam dunia pendidikan yang perlu segera diselesaikan.
Dalam salah satu literatur (hadis) dalam Islam, dikatakan “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering!”. Dalam konteks ini, jangankan untuk menunggu kering, bahkan terkadang para guru honorer belum digaji dan mereka sudah basah kering berkali-kali untuk mengaharapkan upah.
Jika memang jawabannya karena ada diferensiasi antara Guru PNS dan Guru Honorer terkait pemberian upah, maka sulit untuk mengharapkan kemajuan pendidikan di Indoensia. Bagaimana bisa, aktor fundamen dalam pendidikan dibedakan, sehingga justru menyengsarakan aktor yang lain. Maka memuliakan pendidikan berarti memuliakan semua aspek yang menanungi dinamika pendidikan.