Mohon tunggu...
Abidah Ulma
Abidah Ulma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Salah satu mahasiswa akhir yang suka berkecimpung di dunia tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan dan Pelecehan Seksual

27 Agustus 2021   09:22 Diperbarui: 27 Agustus 2021   09:31 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini pelecehan seksual semakin marak terjadi. Pelecehan seksual seakan menjadi penyakit kronis yang semakin hari semakin meradang. Pecelehan seksual dapat menimpa siapa saja tidak memandang gender. Namun secara umum, kaum perempuanlah yang menjadi sorotan korban ketimbang kaum laki-laki.

Mirisnya, dalam pandangan masyarakat seakan korban ialah makhluk yang paling hina. Hal ini membuat korban tidak berani speak up di depan publik. Rasa malu dan mental yang down akibat cemooh masyarakat membuat korban seringkali menjadi enggan untuk melaporkan kejadian. Sering kali masyarakat menganggap bahwa korban pelecehan seksual tidak bisa menjaga diri dengan baik. Misal dengan melihat cara berpakaian korban. Jadi sebenarnya yang salah pakaian korban atau mata dan pikiran sang pelaku?

Apapun alasannya, perilaku pelecehan seksual tidak dapat dibenarkan. Namun sayangnya, karena takut dapat cacian dari masyarakat, korban memilih untuk diam atau berdamai dengan pelaku. Karena merasa tidak mendapat hukuman atas perbuatannya, hal ini membuat pelaku tidak jera dan ketagihan untuk melakukannya lagi.

Selain itu, banyak alasan yang membuat pelaku merasa bebas dalam melakukan tindakan tersebut. Diantaranya ialah ancaman hukuman yang masih relatif rendah dan ditambah karena sistem penegakan hukum yang masih lemah, serta proses hukum yang berbelit dan ribet membuat pelaku pelecehan seksual tidak merasa takut. Perkembangan teknologi yang begitu pesat juga memunculkan hal negatif, seperti sajian porno yang bisa diakses dengan mudah tanpa batasan usia.

Penyebab lain bisa dikarenakan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa pengetahuan mengenai sistem reproduksi dan seksualitas masih menjadi hal yang tabu. Tak jarang, masyarakat juga abai terhadap upaya perlindungan diri. Ditambah sistem social masyarakat yang masih mewajarkan kekerasan gender dan kejahatan seksual membuat kasus ini semakin meningkat.

Pelecehan seksual bisa terjadi dimana-mana, di tempat kerja, di rumah, di jalan, di tempat wisata bahkan bisa terjadi di ranah pendidikan, seperti sekolah maupun kampus. Bentuk dari pelecehan seksual bermacam-macam, verbal maupun non-verbal. Seperti menempelkan tubuh dengan sengaja, menyentuh area sensitive tubuh, komerntar mengenai anggota tubuh yang bermuatan seks atau menggunakan isyarat yang mengarah pada konteks seksualitas.

Tertekan dan rasa yang tidak diinginkan oleh korban merupakan unsur utama dalam pelecehan seksual. Berbeda dengan sesuatu yang didasari dengan suka sama suka, itu bukan dinamakan pelecehan seksual. Batas kewajaran dalam pelecehan seksual dapat dilihat dari segi perilaku seseorang tersebut yang dapat atau mengarah pada rasa tidak nyaman, malu dan takut.

Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, symbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktivitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap tindakan pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur seperti adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.

Di Indonesia sendiri, pelecehan seksual sudah termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindak pidana Melanggar Kesusilaan (Pasal 281 ayat (1)) dan Pencabulan (Pasal 290, 292, 293,294 dan 296). Namun sayangnya, pasal yang sudah disebutkan hanya mengatur mengenai perbuatan seksual secara fisik, dan tidak dapat menjangkau perbuatan seksual non-fisik. Hal ini membuat pelecehan seksual non-fisik tidak dapat dibawa ke ranah hukum. Sehingga masih banyak berseliweran komentar-komentar atau bahkan hal-hal yang berbau asusila, entah di kehidupan nyata maupun di media social.

Kejadian pelecehan seksual pada perempuan menurut data survey Koalisi Ruang Publik Aman, 17% terjadi pada pagi hari, 35% terjadi pada siang hari, 25% pada sore hari serta 21% terjadi pada malam hari. Sedangkan dilihat dari pakaian, Koalisi Ruang Publik Aman juga telaah melakukan survey pada korban pelecehan, yang mana diantaranya yaitu 18% menggunakan rok dan celana panjang, 16% menggunakan baju lengan panjang, 14% menggunakan seragam sekolah, 17% menggunakan hijab dan 14% menggunakan baju longgar.

Dapat diartikan bahwa, tempat, waktu dan cara berpakaian korban pelecehan seksual yang salah ialah mitos belaka. Dilihat dari data hasil survey diatas, mata dan otak pelakulah yang menjadi akar permasalahan terjadinya pelecehan seksual. Jika diamati lebih detail, sangat jelas bahwa hawa nafsu serta otak perilaku yang tidak bisa dikendalikan. Ironisnya, di Indonesia ini undang-undang mengenai kekerasan masih sangat lemah. Ada beberapa kelompok atau komunitas yang membahas mengenai ini, salah satu contohnya pada akun instagram @/womenmarchblt. Sayangnya, komunitas-komunitas penegak seperti ini jarang sekali dilirik oleh pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun