Laut china Selatan merupakan salah satu kawasan yang telah menjadi pusat ketegangan politik antara negara negara seperti Tiongkok, Taiwan, dan beberapa negara di ASEAN. konflik ini dipicu akibat adanya klaim yang dilakukan tiongkok terhadap beberapa wilayah lautan berdasarkan sejarah dan  perdaagangan yang disebut "Ninr Dash Line" yang pertama kali di publikasikan pada tahun 1947 yang mencakup kepulauan spartly dan juga paracel yang pada akhirnya menerima pertentangan dari negara negara yang menganggap wilayah tersebut merupakan miliknya.
Nilai Strategis Laut China Selatan
Wilayah laut China Selatan memang sangat strategis sebagai jalur pelayaran internasional yang menjadi penghubung antara Asia dengan Eropa dan Timur Tengah. Laut China Selatan juga menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah seperti minyak, gas alam, dan hasil laut yang beragam. nilai nilai tersebut lah yang akhirnya menjadikan wilayah Laut China Selatan sebagai wilayah yang penting yang akhirnya menjadi titik ketegangan geopolitik di Asia.
Ketegangan di Laut China Selatan
Ketegangan ini mulai meningkat semenjak awal abad ke-21 bersamaan dengan kebijakan ekspansi yang dilakukan oleh china dengan membangun pangkalan pangkalan militer di sejumlah pulau buatan yang sebelumnya tidak dihuni sehingga memicu kekhawatiran bagi negara negara di Asia Tenggara bahkan Amerika Serikat . Sebagai respon dari kebijakan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan strategi Rebalancing atau Pivot to Asia, yang melibatkan kehadiran militernya di kawassan tersebut.
Dimensi Geopolitik
Konflik di Laut China Selatan lebih dari sekadar sengketa wilayah antara negara-negara yang mengklaim kawasan tersebut. Konflik ini melibatkan aspek geopolitik yang rumit, mencerminkan persaingan global, regional, dan isu-isu keamanan internasional. Negara-negara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia memiliki klaim atas bagian-bagian tertentu dari LCS, berdasarkan sejarah, kedekatan geografi, dan hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang disepakati pada 1982. Tumpang tindih klaim ini menciptakan ketegangan politik yang berlangsung lama.
Sebagai jalur pelayaran internasional yang sangat aktif, sekitar sepertiga dari volume perdagangan global melalui kawasan ini setiap tahunnya. Laur China Selatan juga menjadi wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak, gas, dan hasil laut, yang menjadi incaran banyak negara yang bergantung pada hasil laut untuk kehidupan ekonomi mereka. China, yang telah menjadi kekuatan ekonomi dan industri besar dunia, sangat bergantung pada pasokan energi yang berasal dari kawasan ini untuk mendukung kebutuhan industrinya. Menurut analisis, sekitar 80% dari impor minyak China datang melalui Selat Malaka, yang menghubungkan Laut China Selatan dengan pasar energi global, dan sebagian besar pasokan tersebut melintas di LCS. Oleh karena itu, menjaga kontrol atau pengaruh atas LCS menjadi sangat penting bagi China, yang terus mengembangkan kapasitas angkatan lautnya serta membangun pangkalan militer di kawasan yang disengketakan untuk mengamankan jalur pelayaran dan sumber daya alam yang ada.
Klaim China terhadap Laut China Selatan ini tidak hanya ditanggapi dengan diam. Negara-negara ASEAN
lainnya, seperti Filipina dan Vietnam tidak hanya menanggapi dengan protes diplomatik tetapi juga dengan tindakan militer terbatas. Filipina  membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2013 yang kemudian mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa klaim China atas LCS tidak sah berdasarkan UNCLOS. Keputusan ini ditolak oleh China yang memperkuat kebijakan ekspansionisnya di kawasan ini. Konflik ini tidak hanya melibatkan negara-negara yang memiliki klaim teritorial langsung, tetapi juga melibatkan Amerika Serikat yang khawatir dengan meningkatnya pengaruh China di kawasan ini. Amerika Serikat menganggap kebebasan navigasi di perairan internasional adalah kepentingan yang sangat penting, mengingat sebagian besar jalur pelayaran global melalui LCS. Oleh karena itu, Amerika Serikat memperkenalkan kebijakan Rebalancing atau Pivot to Asia yang meningkatkan kehadiran militernya di kawasan ini untuk menanggapi kebijakan China yang semakin agresif. Amerika Serikat juga memperkuat aliansinya dengan negara-negara Asia Tenggara melalui latihan militer bersama dan peningkatan kerjasama pertahanan.
Dampak Terhadap Kawasan dan Global
Dampak ketegangan di Laut China Selatan (LCS) memang cukup luas, terutama dalam aspek geopolitik dan ekonomi. Lanjutkan analisis Anda tentang dampak ketegangan ini, terutama jika tidak ada langkah-langkah diplomatik yang efektif untuk meredakan situasi. Misalnya, ketegangan yang berkelanjutan bisa menyebabkan beberapa dampak berikut:
- Kehilangan Kepercayaan Antarnegara: Jika ketegangan terus berlanjut atau bahkan meningkat menjadi konflik terbuka, negara-negara yang terlibat bisa kehilangan kepercayaan satu sama lain, mempengaruhi kerja sama di sektor lain, seperti perdagangan dan keamanan regional. ASEAN sendiri, yang mengedepankan konsensus dan non-interferensi, mungkin kesulitan untuk mengatasi perbedaan antara negara anggotanya.
- Risiko Eskalasi Militer: Ketegangan yang terus berlanjut dapat menyebabkan kecemasan lebih lanjut tentang kemungkinan eskalasi militer. Kehadiran militer Amerika Serikat yang semakin besar bisa memicu respon dari China, yang merasa terancam oleh keterlibatan kekuatan besar di wilayah yang menjadi prioritas strategisnya. Perang terbuka tentu akan berdampak besar, baik bagi negara-negara terlibat langsung maupun bagi ekonomi global yang akan terganggu.
- Dampak terhadap Ekonomi Global: Laut China Selatan adalah jalur perdagangan utama dunia, dengan nilai perdagangan yang sangat besar melintas di wilayah ini setiap tahunnya. Ketegangan yang meningkat dapat mempengaruhi stabilitas jalur pelayaran internasional, mengganggu pasokan barang-barang vital seperti minyak, gas, dan produk manufaktur. Keterlambatan atau gangguan dalam perdagangan ini bisa memperlambat perekonomian global, dengan negara-negara besar seperti AS, China, dan negara-negara ASEAN yang terdampak.
- Menghambat pemanfaatan Sumber Daya Alam: Konflik di LCS juga bisa menghambat eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alam yang sangat berharga, seperti minyak dan gas yang terkandung di dasar laut. Negara-negara yang terlibat akan lebih fokus pada klaim terhadap sumber daya tersebut, yang bisa memperburuk ketegangan. Ini tentu saja akan berdampak pada kestabilan ekonomi domestik dan mengurangi potensi investasi di wilayah tersebut.
- menjadi pemicu Isu Sosial-Ekonomi: Ketegangan yang berlarut-larut bisa memicu ketidakstabilan sosial di negara-negara yang terlibat. Misalnya, ketegangan bisa menyebabkan masalah pengungsi, kekurangan sumber daya, atau bahkan krisis kemanusiaan jika ada aksi militer yang lebih luas. Negara-negara yang terpengaruh akan menghadapi tantangan berat dalam menjaga kesejahteraan sosial-ekonomi mereka.