Bagi sahabat yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, macet adalah hal yang biasa. Bahkan di beberapa lokasi, kemacetan sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Sayangnya, kemacetan seperti di Jakarta juga sering terjadi di Tangerang. Jika dulu hanya melihat dari tayangan berita di televisi, kini aku sering mengalami sendiri. Seperti tadi pagi, sudah tiga kali dalam minggu ini aku terjebak dalam kemacetan. Entah apa yang terjadi di depan sana, lebih dari lima belas menit motorku nyaris tak bergerak. Maju tak bisa, mundur atau berputar arahpun sama saja.
“Ini pasti ulah sopir-sopir angkot lagi!”
Seorang pengendara sepeda motor di sampingku mendengus kesal. Aku menduga ia sudah terlambat masuk kerja.
Aku bergeming, tak berkomentar. Apa yang ia katakan bisa jadi benar, tapi bisa juga salah. Kemacetan semacam ini kadang memang disebabkan oleh ulah beberapa supir angkutan kota yang tidak bertanggung jawab. Berhenti, mangkal, dan berputar arah di sembarang tempat. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab kemacetan, masih ada kemungkinan lain seperti para pengendara motor yang tidak disiplin. Memaksa menyelusup di sela-sela angkot atau mobil, juga bisa jadi penyebab dan memperparah kemacetan.
Apapun dan siapapun yang menjadi penyebab kemacetan, yang jelas banyak pihak yang kemudian dirugikan. Karenanya, berbagai upayapun terus dilakukan untuk mengurai dan mengurangi tingkat kemacetan. Diantaranya dengan membuka jalur baru, pemberlakuan sistem buka tutup hingga menambah jumlah petugas dari kepolisian di titik-titik yang rawan kemacetan. Tapi dari berbagai upaya yang telah dilakukan, kemacetan masih saja sering terjadi. Selain jumlah kendaraan yang terus meningkat, mental para pengguna jalan yang tidak disiplin, tidak patuh pada aturan menyebabkan kemacetan selalu sulit diatasi.
Kesabaran dan kesadaran berlalu lintas sangat diperlukan demi kelancaran, kenyamanan dan keselamatan di jalan.
Kemacetan bisa diatasi atau setidaknya dikurangi apabila setiap pengguna jalan sama-sama sabar dan sadar. Sabar mengantri, menunggu giliran dan rela mengalah demi kelancaran bersama. Sadar bahwa jalan yang kita lewati adalah milik umum, maka menghormati sesama pengguna jalan adalah sebuah kewajiban.
Setiap pengguna jalan ingin segera sampai di tempat tujuan dengan selamat dan tepat waktu. Tapi tidak setiap pengguna jalan mau mengantri, rela mengalah demi kelancaran, kenyamanan dan keselamatan bersama. Seolah tak ada yang lebih penting melebihi kepentingannya. Tak ada yang pantas didahulukan selain dirinya.
Jalan yang kita lewati memang bukan milik nenek moyang mereka, tapi bukan pula milik kakek moyang kita. Karenanya kita harus sadar bahwa setiap pengguna jalan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Juga sadar bahwa peraturan lalu lintas dibuat untuk kelancaran, keselamatan, keamanan dan kenyamanan bersama, bukan sekedar hiasan, bukan pula untuk dilanggar.