Mohon tunggu...
Abhisam DM
Abhisam DM Mohon Tunggu... -

Berusaha menjadi lebih baik, itu saja...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ternyata Purnama Malam Ini

11 Mei 2010   07:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:16 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam hari, dentum musik, orang-orang, aku, dan terutama kamu, segalanya mendadak terasa ringan. Aku sampai curiga tidak sedang menginjak bumi. Beberapa kali kakiku menghentak ke lantai, memastikan tidak sedang melayang. Kamu sempat heran dengan kelakuanku. Aku hanya tersenyum. Kamu balas tersenyum.

Sejak tadi sebenarnya aku sedang menikmati wajahmu. Apalagi kalau sedang tersenyum seperti barusan. Degup jantungku yang bertambah cepat, dadaku yang sesekali terasa dingin, aku sungguh menikmati itu.

Kamu banyak berubah. Tentu saja. Belasan tahun cukup untuk merubah banyak hal dari seseorang. Hanya saja, perubahannya lebih terasa karena belasan tahun itu kita lalui tanpa sepenggal pertemuan pun secuil komunikasi.

Tapi senyummu tetap. Aku selalu bisa menikmatinya sejak dulu. ”Ah, masak sih?” katamu sambil tersipu. Aku menangkap dengan baik wajahmu yang berubah memerah. Kamu lalu menatapku. Aku balas menatapmu. Kamu tersenyum. Aku berhasil. Itu yang kucari. ”Banyak-banyaklah tersenyum, itu ibadah yang berlipat-lipat.”

”Maksudmu?”

”Pertama, senyum itu sendiri sudah ibadah. Kedua, dengan tersenyum kamu membuat hatiku senang. Menyenangkan hati orang lain nilainya sama dengan ibadah empat puluh tahun.”

“Dasar!”

“Aku serius.”

“Gombal!”

“Wajahmu memerah.”

“Dasar perayu!”

Kamu berlagak marah padahal kemerah-merahan di wajahmu tidak bisa menipu. Aku tahu persis itu. Aku menatapmu. Kamu balas menatapku. Kita lalu sama-sama tertawa.

“Kamu banyak berubah,” katamu.

“Pasti, semua orang berubah, kamu juga.”

”Maksudku kamu sekarang pandai merayu.”

”Ah, tidak. Aku hanya satu dari sedikit orang yang menyakini bahwa kecantikan seorang perempuan itu ditentukan oleh senyumnya.”

Sepotong fried mushroom melayang ke arahku. “Perayu!”

***

Malam ini kita bersepakat, kebetulan adalah pelecehan terhadap segenap potensi akal dan batin manusia. Sebelumnya kita lebih dulu menyakinkan diri tidak sedang mabuk meskipun meja bundar kecil, berdiameter kurang lebih satu meter, bergantian menyajikan carlsberg, ice cappuccino, fried mushrooms, wine, dan pink lady.

Kebetulan itu tidak ada. Atau demi tidak terjebak pada istilah, kebetulan tidak boleh berhenti pada kebetulan. Kebetulan lalu koma, tidak boleh titik. Sebab selalu ada sesuatu di balik kebetulan. Makro-kosmos penuh dengan irisan, nyaris tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Hanya saja, saking besar dan luasnya, irisan-irisan itu seringkali tak nampak, seperti bumi yang rotasi sekaligus revolusinya terasa diam.

Malam ini kita juga bersepakat, kehidupan –terutama di kota besar- yang terlalu aksi-reaktif seringkali meminggirkan perenungan. Padahal perenungan adalah kunci untuk membuka pintu-pintu irisan dalam makro-kosmos. Hidup tidak sekadar planning, schedule, budget, target. Hidup juga bukan cuma ilmu praktis.

”Konteksnya apa?” tanyaku.

”Apa?”

”Kebetulan, kamu yang memulai topik itu kan?”

Kamu diam. Aku menunggu.

”Aku tadi tanya bagaimana?”

”Kamu pura-pura lupa.”

”Tidak. Aku benar-benar lupa.”

“Baiklah. Kamu tadi tanya menurutku kebetulan itu apa?”

”Oh, itu. Hanya tanya saja.”

”Masak iya?”

Kamu mengangguk. Aku memperhatikanmu. Kamu memainkan sedotan dari gelas pink lady. Aku terus memperhatikanmu. Kini kamu memainkan gelasnya. Aku masih terus memperhatikanmu. Kamu minum sedikit, memainkan gelas, sedotan, minum sedikit, memainkan sedotan, gelas, minum sedikit, terus mencari kesibukan. Kamu gugup. Aku tahu itu.

***

Sepotong fried mushroom mengenai pipi kananku. Kamu tersenyum, masih dengan kemerah-merahan di wajahmu. Aku makin yakin saja, kecantikan seorang perempuan memang ditentukan oleh senyumnya.

”Tidak baik menyia-nyiakan makanan.”

”Biarin.”

”Lagipula aku tidak merayumu.”

”Bohong.”

”Aku tak punya motif.”

”Memang tidak perlu.”

”Orang merayu tanpa motif itu mustahil.”

”Lebih mustahil lagi kamu tidak merayuku.”

”Lho, aku serius. Karena tak punya motif, mustahil aku merayumu. Jangan-jangan kamu yang berharap aku rayu...”

”Geer!”

”Kamu tidak jujur pada perasaanmu sendiri.”

”Kamu menjelma politisi, gemar memutarbalikkan fakta.”

”Ayolah, dengarkan kata hatimu.”

Lagi-lagi sepotong fried mushroom melayang ke arahku. Kali ini mengenai leherku. Kamu tersenyum. Lagi-lagi. Masih dengan kemerah-merahan itu.

“Ternyata…”

“Apa?”

“Kamu tahu betul bagaimana memanjakanku dengan senyummu.”

Tangan kananmu mencari fried mushroom di atas piring. Habis. Gantinya sedotan pink lady yang melayang ke arahku.

”Nah, lebih baik begitu, setidaknya tidak membuang makanan.”

Kamu menjulurkan lidahmu keluar. Lucu juga saat kamu bertingkah seperti kanak-kanak. Aku tertawa kecil. Kamu tersipu malu. Kemerah-merahan di wajahmu makin tebal.

***

”Andai kita bertemu beberapa tahun lalu,” suaramu pelan dan seperti menyesali sesuatu.

”Maksudmu?”

Kamu kaget. Barangkali ucapan tadi mengalir spontan. ”Ah, tidak kok. Tidak apa-apa,” katamu sambil tersenyum. Tapi kali ini senyummu berbeda. Tidak lepas dan terkesan dipaksakan.

Aku tidak bertanya lebih jauh. Aku merasa bisa menerka, itu berhubungan dengan pertanyaanmu tentang kebetulan.

”Sudah hampir setengah dua ternyata. Lama juga kita di sini. Sebentar lagi kita pulang ya,” kata-katamu mengalir biasa, namun bahasa tubuhmu mengatakan lain. Kamu kikuk.

”Ups, memang sudah waktunya pulang,” aku berlagak santai.

Karena ini bukan kencan, tidak ada yang menjemput dan dijemput, tidak ada yang mengantar dan diantar. Aku datang sendiri, kamu juga. Aku pulang sendiri, kamu juga. Dealnya memang begitu.

Di perjalanan pulang handphoneku bunyi. Ada pesan singkat masuk. Aku biarkan dulu. Tanggung, sebentar lagi sampai rumah. Malam minggu dan tidak hujan seperti berapa hari belakangan, jalanan masih cukup ramai. Kerumunan anak muda tampak di beberapa mulut gang yang kulewati sejak tadi, khas malam minggu di daerah sini, mungkin juga di banyak daerah lain.

Sampai depan pagar rumah, kubuka pesan singkat di handphoneku. Dari kamu, ”Kamu lihat bulan malam ini? Purnama. Kebetulan?”

Aku menengadah ke langit. Benar. Purnama.

Pamulang, Maret 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun