Indonesia merupakan negara dengan bentuk kepualaun yang rentan akan perubahan iklim yang sebagian besar akan menimbulkan bencana. Salah satunya ialah wilayah Tasikmalaya yang mana memiliki potensi akan bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Dengan demikian perlu adanya mitigasi bencana yang dikembangkan melalui kearifan lokal yang menjadi salah satu mitigasi non struktural.
Salah satunya yang diterapkan di Kampung Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu yang menjadi kampung rawan bencana. Kampung Naga terletak di lembah sungai Ciwulan dan diapit perbukitan dataran tinggi yang membentang dari barat ke timur, serta dilalui sesar yang berlokasi <5 km dari pusat gempa. Kampung Naga menjadi kawasan yang berada pada zona gerak tanah tinggi yang dapat menimbulkan potensi bencana tanah longsor yang dikombinasikan adanya perubahan iklim.
Kampung yang berada pada lembah ini memiliki ketinggian yang berbeda dari bagian barat hingga timur yang dimana dijumpai pada wilayah barat memiliki posisi yang lebih tinggi. Posisi Kampung Naga memiliki kondisi lahan dengan kontur miring ke arah timur. Bagian timur merupakan kawasan yang langsung berada di samping sungai Ciwulan yang tentunya memiliki potensi akan bencana banjir dan longsor saat perubahan iklim terjadi.
Potensi longsor dikampung Naga sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni adanya potensi gerakan tanah tinggi karena menjadi jalur sesar, memiliki morfologi perbukitan daerah dataran tinggi dengan kondisi kemerengan lereng beragam, memiliki curah hujan dengan kategori rendah namun memiliki  jenis tanah ultisol yang peka terhadap erosi. Serta potensi bencana banjir yang dapat terjadi karena beberapa faktor seperti Kampung Naga merupakan kawasan lahan basah, jarak pemukiman yang kurang dari 100 meter dari bibir sungai Ciwulan, Sungai Ciwulan juga memiliki muka air 10-50 meter dengan aliran menikung tajam pada bagian selatan kampung,
Dengan adanya potensi bencana banjir dan longsor tersebut masyarakat kampung Naga dapat memitigasi bencana melelui kearifan lokal dengan pengaruh adat istiadat yang dipegang teguh. Dimana penataan ruang yang diterapkan dalam mitigasi bencana alam yang terjadi dengan menerapkan konsep kosmologi Tri Tangtu di  Bumi yang dibagi menjadi tiga kawasan yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Kawasan dunia atas merupakan kawasan hutan keramat yang berada di atas bukit dibagian barat kampung. Pada kawasan tengah merupakan kawasan netral yang dipresentasikan sebagai kawasan perumahan, sawah, dan kebun campuran. Serta bagian dunia bawah yang menjadi hutan larangan di sebelah Timur kampung.
Dengan demikian mitigasi bencana di interpretasikan kedalam beberapa upaya pencegahan bencana yang dibagi menjadi dua bentuk mitigasi yakni non strukural dan struktural. Â Upaya mitigasi non struktural dan struktural tersebut seperti; terdapat hutan yang dilesatrikan dan dipresentasikan sebagai hutan keramat yang dijaga melalui aturan adat, adanya pola ruang kampung yang dimana tata letak bangunan memanjang barat-timur mengikuti kontur dengan pola grid menghadap Utara atau Selatan ditambah dengan adanya lorong sebagai drainase, adanya pembuatan kolam untuk memisahkan perumahan dengan sungai, bangunan rumah yang memiliki tapak lebih tinggi dari lorong drainase, bangunan yang berdiri sesuai dengan kontur dan diperkuat dengan batu dan tanah liat, lorong yang memanjang dari barat-timur, serta jalan lingkungan yang terbuat dari material batu dan tanah untuk memudahkan penyerapan air.
Â
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya kemampuan mitigasi bencana Kampung Naga diatasi dengan kearifan lokal yang ada. Dengan adanya adat istiadat yang dipegang teguh masayrakat dpat membuat dampak positif dalam kemampuan mitigasi bencana. Dimana kemampuan tersebut dapat dilihat dari cara mengkonservasi hutan, meletakan bangunan, mengatur  infrastuktur dan pola ruang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H