Untuk memulai tulisan ini, saya ingin menggambarkan terlebih dahulu mengenai konteksnya. Bahwa saya besar dan tumbuh pada lingkungan yang cukup kental dengan ritual-rutual keagamaan. Dalam hal ini agama Islam. Mungkin akan banyak ditemui terminologi, cara pandang, yang berangkat dari sudut pandang Agama.
Ada percakapan menarik antara Yudi Obeng dan Asep Bensol. Waktu itu, Asep Bensol bercerita bahwa dia bisa berbicara, bahkan melihat secara langsung saudaranya yang ada di sebrang pulau. Dengan keterbatasan pengetahuan, Yudi Obeng mencoba mengkonfirmasi pada Asep Bensol. Dan hasilnya, terbukti bahwa Yudi Obeng memang bisa berkomunikasi dengan Saudaranya yang nun jauh disana. Dari percakapan ini, Yudi Obeng menyimpulkan bahwa Asep Bensol adalah orang sakti. Karena dia bisa berkomunikasi dengan saudaranya yang berada jauh dari tempat mereka tinggal. Kabar ini pun menyebar di masyarakat, hingga akhirnya mereka juga meyakini bahwa Asep Bensol adalah orang yang sakti.
Sekian waktu berlalu, ternyata ditemukan bahwa Asep Bensol memang bisa berkomunikasi secara realtime dengan saudaranya yang jauh, akan tetapi menggunakan media. Medianya yaitu berupa smartphone. Mereka memang terbiasa berkomunikasi menggunakan smarthpone untuk video call. Akan tetapi, dalam obrolan bersama Yudi Obeng, Asep Bensol tidak menyebutkan bahwa dia berkomunikasi dengan cara video call menggunakan smartphone. Sehingga disimpulkan oleh Yudi Obeng, bahwa Asep punya kekuatan mistis. Sialnya, issue kekuatan mistis Asep sudah kadung dipercaya juga oleh masyarakat sekitar.
Fenomena mistifikasi seperti ini, muncul salah satunya karena adanya ketidaklengkapan informasi. Ketidaklengkapan informasi ini, akhirnya melahirkan shortcut irasional yang namanya "Sakti". Karena dengan cara seperti ini, tidak perlu penjelasan komprehensif. Tidak perlu belajar jaringan frekuensi  yang digunakan oleh smartphone. Dan alasan-alasan lainnya. Intinya, sakti aja. Mistifikasi, tidak hanya terjadi dimasyarakat zaman dulu saja. Mistifikasi juga terkadang bisa ditemui dizaman sekarang, dengan berbagai konteksnya, termasuk dalam konteks beragama.
Agama merupakan way off life. Sewajarnya, banyak orang yang berupaya untuk berpegang teguh pada nilai-nilai agama, agar mendapatkan pentunjuk hidup supaya bisa menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Sayangnya, dengan narasi agama seringkali disikapi dengan sebuah upaya lepas tangan dari tanggungjawab agar berupaya semaksimal mungkin. Misal, ketika ada barang yang menarik, atau kita inginkan, dengan ringan mengucap shalawat. Sambil diakhiri dengan ungkapan harapan, supaya bisa memiliki barang yang diidamkan. Tak lama kemudian, ketika melihat barang lainnya, secara spontan kita bershalawat dengan harapan yang sama. Agar kelak, bisa memiliki barang yang kita lihat tersebut. Apakah hal ini salah? Tentu tidak sepenuhnya salah, karena ada janji tuhan yang menyatakan bahwa jika berdo'a diawali dengan shalawat, maka para malaikat akan ikut mengaminkan. Probabilitas dikabulkannya do'a, jadi semakin tinggi berkat campurtangan para malaikat yang ikut mengaminkan. Anak tetapi, jika setiap barang yang kita lihat dan menarik bagi kita lantas terus dishalawati dengan harapan agar kelak memilikinya, apakah itu yang dimaksud oleh tuhan? Tentu berat juga untuk meng-iya-kan. Malah, kalo dipikir lagi, kok kaya penistaan agama. Karena shalawat yang kita ucapkan, menjadi kalimat pembuka untuk setiap syahwat kita dalam memiliki sesuatu. Yang bahkan sesuatu tersebut, belum tentu kita butuhkan.
Parahnya, jika itu sudah menjadi kebiasaan, jangan-jangan kita sudah tidak memaknai lagi setiap shalawat yang keluar dari mulut kita. Setiap do'a yang serius kita panjatkan, akan mendorong jiwa dan raga untuk berikhtiar mewujudkan harapan yang terbingkai dalam do'a. Jika setiap barang "mewah" yang kita lihat dishalawati, kapan ada kesempatan untuk berupaya mewujudkannya? Bukankah ini sebuah penistaan? Melemparkan syahwat kita, pada tuhan agar bisa dimiliki? Bukankah tuhan juga berpesan bahwa Dia tidak akan merubah suatu kaum, sebelum kaum tersebut berikhtiar?
Tidak ada yang salah dengan janji tuhan. Hanya saja, kita sebagai manusia, harus memperbaiki sikap dalam memaknainya. Mistifikasi agama, tentu bertentangan dengan nilai agama itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H