Pemerintah Indonesia telah merencanakan target bauran energi baru dan terbarukan pembangkit tenaga listrik pada akhir tahun 2025 sebesar 23% dari total pembangkit yang ada. Senada dengan hal ini, pemerintah Indonesia juga memiliki target tercapainya Net Zero Emission pada tahun 2060.
Emisi CO2 dari seluruh pembangkit pada tahun 2020 mencapai 264 MT, dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 dengan total emisi CO2 sebanyak 349 MT. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian pada beberapa skenario yang mungkin diterapkan di Indonesia dalam rangka mencapai target yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam RUPTL tahun 2021-2030 tersebut.
Saat ini, mayoritas pasokan listrik di Bali masih berasal dari pembangkit listrik energi fosil yang memiliki dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia. Untuk mengurangi dampak negatif pembangkit listrik energi fosil dan memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, perlu dilakukan early retirement atau pensiun dini terhadap beberapa pembangkit listrik energi fosil di Bali.
Namun, merencanakan early retirement pada pembangkit energi fosil di Bali tentu memiliki dampak di sisi ekonomi. Ini muncul pertanyaan: Apa yang terjadi pada biaya dan emisi CO2 dari diterapkannya pada sistem kelistrikan Bali kebijakan ini?
Kondisi Sistem Kelistrikan Bali Tahun 2022
Beban puncak sistem tenaga listrik Provinsi bali tertinggi tahun 2020 sebesar 980 MW yang tercapai pada Bulan Januari 2020. Daya dipasok dari pasokan dari kabel laut Jawa-Bali 400 MW dan pembangkit 150 kV sebesar 944 MW yang terdiri atas pembangkit BBM 372 MW, pembangkit LNG/BBM 192 MW, PLTU Celukan Bawang 380 MW. Pembangkit yang masih dioperasikan dengan BBM direncanakan akan dilakukan regasifikasi, sehingga diharapkan tidak ada lagi pembangkit di Bali yang menggunakan BBM.
Pulau Bali memiliki total produksi energi listrik sebesar 5604 GWh selama satu tahun. Daya listrik yang dibangkitkan rata-rata sebesar 640 MW, dengan beban puncak tertinggi di tahun 2022 sebesar 915.8 MW dan daya mampu netto pasokan listrik di Bali sebesar 1294.3 MW.
Adapun komposisi pembangkit listrik konvensional di Bali mayoritas disuplai oleh PLTU dengan kapasitas daya terpasang sebesar 380 MW, diikuti oleh PLTG sebesar 322 MW, kemudian PLTMG sebesar 182.4 MW, dan PLTD sebesar 65.6 MW.
Sedangkan komposisi pembangkit listrik energi terbarukan di Bali mayoritas disuplai oleh PLTS sebesar 2.1 MW, kemudian PLTA sebesar 1.4 MW, dan PLTB sebesar 0.6 MW. Sehingga diperoleh total kapasitas daya terpasang dari seluruh pembangkit di Bali sebesar 954.3 MW. Di sisi lain, sistem kelistrikan Bali juga mendapatkan suplai energi listrik dari Jawa melalui jalur transmisi bawah laut sebesar 340 MW. Total emisi CO2 yang dihasilkan di Bali selama setahun adalah sebesar 3.37 juta ton.
Kondisi Sistem Kelistrikan Bali Tahun 2030 sesuai RUPTL
Merujuk kepada RUPTL 2021-2030, maka kondisi system kelistrikan Bali pada tahun 2030 dapat dilihat pada table di bawah. Terlihat bahwa terdapat kenaikan produksi energi listrik sebesar 74.3% dari tahun 2022 menjadi 9766 GWh selama setahun. Begitu juga pada daya mampu netto pasokan listrik Bali, dimana terdapat kenaikan sebesar 148.7% dari tahun 2022 menjadi 3219 MW.
Sedangkan untuk komposisi jenis pembangkit konvensional di Bali akan didominasi oleh PLTG dengan kapasitas daya terpasang sebesar 622 MW atau bertambah sebanyak 93.2% dari tahun 2022.
Untuk komposisi jenis pembangkit energi terbarukan mayoritas disuplai oleh PLTS dengan penambahan kapasitas daya terpasang sebesar 100 MW dari tahun 2022 menjadi 102.1 MW. Di sisi lain juga terdapat penambahan signifikan pada PLTP sebesar 65 MW dari yang sebelumnya nihil di tahun 2022.
Proyeksi Pertumbuhan Kapasitas Produksi & Konsumsi Energi Listrik di Bali
Diproyeksikan bahwa impor energi listrik dari system kelistrikan Jawa akan terus bertambah dan menjadi mayoritas di tahun 2030. Untuk kebutuhan pembebanan di Pulau Bali, diproyeksikan akan meningkat hingga mencapai 1000 MW di tahun 2030. Namun begitu, nilai ini masih berada jauh di bawah kapasitas produksi energi listrik di Pulau Bali, yakni masih di bawah 50%, sehingga dapat dikatakan bahwa suplai energi listrik di Pulau Bali masih aman dan tercukupi hingga tahun 2030. Dengan proyeksi pembangunan ini, total kapasitas daya mampu terpasang termasuk impor dari Pulau Jawa akan mencapai nilai 3000 MW di tahun 2030.
Proyeksi Pembangunan Sumber Energi Listrik Sub-Sistem Bali dengan Potensi Energi Terbarukan
Provinsi Bali memiliki potensi sumber energi primer yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik yang terdiri dari potensi panas bumi yang dapat dikembangkan sekitar 92 Mwe terdapat di 6 lokasi yaitu Banyuwedang Buleleng, Seririt Buleleng, Batukao Tabanan, Penebem Tabanan, Buyan-Bratan Buleleng, dan Kintamani-Baru.
Selain itu juga terdapat potensi tenaga air sebesar 30 MW, potensi energi gelombang laut di Nusa Penida yang bisa dikembangkan dengan potensi berkisar 10-50 MW yang memerlukan kajian lebih lanjut, potensi tenaga surya yang akan dilakukan studi PLTS di Pemaron dengan kapasitas sebesar 1 MWp dan di lokasi tersebar dengan kapasitas maksimal 100 MWp, serta pembangkit menggunakan bahan bakar Sampah, sejalan dengan visi pemerintah provinsi Bali, yaitu clean and green.
Proyeksi pembangunan pembangkit listrik di Bali dengan potensi energi terbarukan, dimana selain penambahan PLTGU, PLTS, dan PLTP, juga diproyeksikan penambahan pembangkit listrik tenaga angin (PLTB) dan juga pembangkit listrik tenaga air mikrohidro (PLTM). Dengan memaksimalkan potensi sumber energi terbarukan ini, maka total kapasitas daya mampu terpasang dapat melebihi angka 3500 MW.
Proyeksi Pembangunan Sumber Energi Listrik Sub-Sistem Bali tanpa Pembangkit Listrik Energi Fosil
Proyeksi pembangunan pembangkit listrik di Bali dengan skenario early retirement dimana mulai tahun 2024 akan dilakukan pemadaman pada pembangkit listrik energi fosil secara bertahap hingga menjadi nihil di tahun 2025. Dengan diterapkannya skenario ini maka total kapasitas daya terpasang hanya menjadi sekitar 2000 MW. Namun begitu, kebutuhan pembebanan masih tercukupi dikarenakan proyeksi pembebanan di tahun 2030 hanya sebesar 1000 MW. Dalam hal ini masih terdapat surplus kapasitas produksi energi listrik sebesar 1000 MW.
Proyeksi Pembangunan Sumber Energi Listrik Sub-Sistem Bali dengan Optimalisasi Potensi Sumber Energi Terbarukan & Early Retirement pada Pembangkit Energi Fosil
Proyeksi pembangunan pembangkit listrik di Bali dengan optimalisasi sumber energi terbarukan sekaligus penerapan early retirement dimana mulai tahun 2024 akan dilakukan pemadaman pada pembangkit listrik energi fosil secara bertahap hingga menjadi nihil di tahun 2025, kemudian mulai tahun 2029 secara bertahap dilakukan penetrasi tambahan pembangkit listrik energi terbarukan hingga tahun 2031. Dengan diterapkannya skenario ini maka total kapasitas daya terpasang akan meningkat dibandingksn skenario ER sebelumnya dimana total kapasitas daya terpasang mencapai 2500 MW. Dengan kebutuhan pembebanan di tahun 2030 hanya sebesar 1000 MW, maka dalam hal ini masih terdapat surplus kapasitas produksi energi listrik sebesar 1500 MW.
Bauran Pembangkit Listrik dan Kondisi Eksisting di Pulau Bali
Kondisi saat ini, Bali masih menggunakan sebagian besar pembangkit fossil, grafik menunjukkan bahwa hampir tidak ada kontribusi Pembangkit EBT (0.2%). Sementara, 27% bauran energi listrik berasal dari Import interkoneksi. Yang mana energi tersebut bersumber dari PLTU (Paiton).
Skenario Business as Usual (BaU) pada Sistem Kelistrikan di Pulau Bali
Pada tahun 2030, Skenario BaU menunjukkan sumber pembangkit yang lebih variatif. Bahkan pada skenario ini, persentase import sangat besar dengan adanya Proyek Kabel Laut 500 kV Jawa - Bali. dengan meminimalisir semua pembangkit berbahan bakar solar dan gas, maka porsi import menjadi besar. Dengan demikian emisi gas CO2 yang dihasilkan sebesar 3.372 MTCOe murni seluruhnya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Skenario BaU dengan Early Retiremen pada Sistem Kelistrikan di Pulau Bali
Pada tahun 2030, Skenario BaU ditambah dengan mematikan PLTU atau Early Retirement dengan tetap mempertahankan semua pembangkit listrik energi terbarukan, maka pasokan energi listrik di Pulau Bali menjadi bergantung seluruhnya pada import daya dari Jawa. Hanya terdapat sedikit kontribusi RES yaitu berupa PLTS yang bersifat intermittent.
Skenario Optimalisasi Seluruh Potensi Sumber Energi Terbarukan di Pulau Bali
Pada tahun 2030, Skenario Optimalisasi dimana semua potensi pembangkit energi terbarukan di Pulau Bali dioptimalkan, maka bauran pembangkit listrik energi terbarukan pada sub sistem Bali mengalami peningkatan hingga 20%. Pembangkit PLTU dioptimalkan dan pembangkit dengan bahan bakar fossil lainnya pada kondisi standby. Sehingga Impor listrik dari Jawa menjadi optimal.
Skenario Optimalisasi Seluruh Potensi Sumber Energi Terbarukan dengan Early Retirement pada Pembangkit Energi Fosil di Pulau Bali
Pada tahun 2030, Ketika Skenario Optimalisasi Seluruh Potensi Sumber Energi Terbarukan dijalankan dengan mematikan semua pembangkit fossil atau Early Retirement di Pulau Bali, maka bauran pembangkit energi terbarukan menjadi 28%. Supply daya pada sub-sistem Bali akan sangat bergantung pada reliabilitas kabel laut yang menyumbang sebagian besar daya, mengingat sebagian besar sumber energi terbarukan bersifat intermittent atau fluktuatif.
Biaya Kelistrikan dan Emisi Gas CO2 pada Tiap Skenario
Skenario terhijau dimana emisi gas CO2 yang dihasilklan bernilai terendah diberikan oleh skenario early retirement dengan optimalisasi potensi energi terbarukan, yaitu dengan jumlah emisi gas CO2 nihil dan biaya tahunan pembangkitan sebesar 2,215 juta dollar yang sedikit lebih ekonomis dibandingkan apabila hanya menerapkan skenario early retirement tanpa optimalisasi potensi energi terbarukan yakni sebesar 2,241 juta dollar.
Hal ini disebabkan pada skenario early retirement tanpa optimalisasi, ketergantungan terhadap impor energi listrik dari Pulau Jawa -yang notabene menggunakan pembangkit jenis PLTU- masih tinggi, sehingga kebutuhan akan sumber energi fosil, dalam hal ini batubara, masih sedikit lebih tinggi.
Namun begitu, skenario hijau yang diberikan oleh skenario early retirement tanpa dan dengan optimalisasi potensi energi terbarukan menghasilkan biaya yang lebih tinggi daripada skenario tanpa early retirement. Skenario tanpa early retirement menghasilkan biaya tahunan sekitar 70% lebih murah dibandingkan dengan skenario early retirement. Hal ini berarti untuk membuat Provinsi Bali semakin “hijau”, maka biaya yang diperlukan pun semakin besar.
Prosentase kontribusi pembangkit energi terbarukan pada sistem kelistrikan Provinsi Bali mengalami kenaikan apabila diterapkan skenario early retirement dengan optimalisasi potensi sumber energi terbarukan, dari yang sebelumnya sebesar 11.7%, meningkat menjadi 17.5%.
Perbandingan antara Biaya Total dengan Energi Maksimum yang Dapat Dihasilkan dari Tiap Skenario
Skenario tanpa ER (BaU & OPT) menunjukkan jumlah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan energi yang dihasilkan. Pada scenario ini karena pembangkit fossil masih dioperasikan maka terdapat biaya pajak karbon yang dibebankan ke utilitas (PLN).
Skenario Early Retirement (BaU-ER & OPT-ER) tidak memiliki carbon tax, tetapi kompensasi yang dikeluarkan akibat ‘pensiun paksa’ pembangkit yang harus dibayarkan oleh utilitas sangat besar. Kompensasi bisa dimasukkan dalam bagian BPP (seperti scenario ini) atau disubsidi oleh pemerintah agar harga listrik menjadi lebih masuk akal.
Biaya Pokok Produksi (BPP) dari Tiap Skenario
BPP Skenario Early Retirement meningkat secara drastis, dikarenakan pada skenario ini pemerintah / utilitas tetap membayar kompensasi seperti biaya investasi, biaya kontrak bahan bakar, kontrak ToP, dan lain-lain, yang dibebankan seluruhnya pada BPP. Secara intuitif, grafik di atas memperlihatkan bahwa skenario Early Retirement memiliki BPP yang mirip dengan rata–rata BPP Indonesia untuk skenario Low Carbon.
Pada akhirnya, skenario Early Retirement memiliki dampak positif yaitu turunnya emisi karbon hingga menjadi 0 TCOe pada tahun 2025 – 2030. Namun, hal itu dilakukan dengan biaya yang sangat mahal mendekati dua kali lipat BPP normal tanpa Early Retirement yang mana hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi yang sejalan dengan komitmen Net Zero Emission oleh PLN.
Adanya penurunan emisi CO2 di Pulau Bali hingga 0, tidak lepas dari peran signifikan Interkoneksi Jawa – Bali yang memasok sebagian besar kebutuhan energi Pulau Bali. Yang mana sumber energi yang berasal dari Jawa tetap menggunakan sumber energi fossil (PLTU).
Kemungkinan metode yang paling ekonomis dari scenario Net Zero Emission: Membiarkan Pembangkit Fossil beroperasi dan Pensiun (Retire) secara normal sesuai dengan masa investasinya; Melarang Penambahan Pembangkit Fossil Fuel untuk seterusnya; Hanya memperbolehkan pembangunan pembangkit energi terbarukan dan Pembangkit dengan teknologi Carbon Capture (CCS/CCUS) di dalamnya. Dengan demikian, proses bisnis PLN dapat berjalan dengan sehat meskipun target NZE menjadi lebih Panjang s/d 2060 (NZE-2060).
Artikel ini dibuat sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah EL5079 Ekonomi Energi dengan anggota terdiri dari:
- Ario Wulung (23222046)
- Muhammad Khoirul Huda (23222047)
- Abghi Ilman Arif (23222060)
- Siti Hajar Juliatiza (23222012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H